Kemashyuran kekayaan Nusantara telah dikenal dunia sejak
ribuan tahun sebelum masehi. Bangsa-bangsa Eropa pun berdatangan,
seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan lainnya. Niat
bangsa-bangsa ini ke Nusantara tidak hanya berdagang namun juga untuk
menguasainya sekaligus menyebarkan ajaran salib di tanah yang dianggap
kafir ini. Kita mengenalnya dengan slogan Tiga G: Gold, Glory, dan
Gospel.
Dimulailah masa-masa penuh kegelapan di Nusantara di mana
Belanda dianggap sebagai bangsa yang paling lama mampu menjajah tanah
yang kaya ini. Sejarah telah mencatat bagaimana akhirnya secara politis
bangsa Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Secara aklamasi Soekarno diangkat menjadi presiden. Dan seorang Soekarno
yang lebih dari 25 tahun masa hidupnya dijalani di belakang terali besi
kaum penjajah sungguh-sungguh mengetahui jahatnya sistem kolonialisme
dan imperialisme.
Soekarno menggariskan arah politik anti neo-kolonialisme
dan anti neo-imperialisme, dengan bekerja keras agar Indonesia bisa
mandiri. Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas, dalam kata pengantar
buku John Perkins menuliskan, “Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi
bagi MNC—Multi National Corporate—melalui UU No. 44/1960 yang berbunyi,
“Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau
perusahaan negara.” …Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba
menurun. Tiga besar (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi
ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke
negara-negara lain jika mereka menolak UU N0.44/1960 tersebut. Pada
Maret 1963 Soekarno mengatakan, “Aku berikan Anda waktu beberapa hari
untuk berpikir dan aku akan batalkan semua konsesi jika Anda tidak mau
memenuhi tuntutanku.”
Soekarno pada prinsipnya memang menentang korporatokrasi,
sangat berbeda dengan Suharto yang malah menjadi pelayannya yang teramat
sangat baik. Tak heran jika utang luar negeri di masa Soekarno hanya
2,5 miliar dollar AS, sedangkan di masa Suharto mencapai 100 miliar
dollar AS (!). Sayangnya, sampai detik ini tak ada satu pun pemimpin
Indonesia yang seperti Soekarno, menolak hegemoni korporatokrasi asing
terhadap bangsa dan negara ini. Bahkan ketika anak biologis Soekarno,
Megawati Soekarnoputeri menjadi presiden pun, dia dalam fakta
politik-ekonominya lebih condong ke kiblatnya Suharto ketimbang
Soekarno. Kasus penjualan gas alam Tangguh yang irasional ke Cina
merupakan bukti paling jelas tentang hal ini.
Disebabkan Soekarno tidak mau tunduk pada kepentingan
Nekolim inilah, akhirnya CIA menjatuhkannya dan menaikkan Jenderal
Suharto menjadi presiden menggantikan Soekarno. Kejatuhan Soekarno
dirayakan secara besar-besaran di Washington. Presiden Richard Nixon
menyebutnya sebagai, “Upeti besar dari Asia Tenggara…”
“Bos Perkins, Charlie Illingworth mengingatkan bahwa
Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas
sampai kering. Di mata Nixon, Indonesia ibarat real-estate terbesar di
dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina…,” demikian
tulis Budiarto Shambazy.
Bagi yang ingin mengetahui sedikit tentang perbedaan arah
politik-ekonomi Soekarno dengan Suharto, dan intervensi CIA serta
korporatokrasi AS di Indonesia, silakan melihat film dokumenter “New
Rulers of the World” dari John Pilger di Youtube yang terdiri dari enam
episode. Film yang aslinya berbahasa Inggris itu sudah tersedia dengan
terjemahan bahasa Indonesianya.
Begitu Soekarno jatuh, pada bulan November 1967, Jenderal
Suharto mengirim satu tim ekonomi yang disebut banyak kalangan sebagai
Mafia Berkeley, menghadap para CEO MNC seperti Rockefeller di Swiss, dan
mengggadaikan hampir seluruh kekayaan alam Indonesia.
Pertemuan Mafia Berkeley-Rockefeller di Swiss
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter
karya John Pilger berjudul “New Rulers of the World”, Mafia Berkeley ini
atas restu Suharto menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke
hadapan Rockefeller cs. Mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan
memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di
Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon,
dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967
pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi
tersebut.
Disertasi Doktoral Brad Sampson (Northwestern
University-AS) menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru.
Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal
Australia, John Pilger dalam New Rulers of The World, mengutip Sampson
dan menulis: “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah
terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno
jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu
dibagi-bagi.
The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa
di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi
pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya terdiri dari seluruh
kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American
Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US
Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan
sebagainya. Di seberang meja, duduk orang-orang Suharto yang oleh
Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai
‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.”
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The
Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa
dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California
di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan
hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan
butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber
daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”
Masih dalam kutipan John Pilger, “Pada hari kedua, ekonomi
Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.” Prof. Jeffrey Winters
menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.”
“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu
kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya,
perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh
Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor
lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu
yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya
merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum
yang sangat menguntungkan mereka (dan sangat merugikan bangsa
Indonesia). Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya,
di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan
sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya
investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar