Pertemuan antara Mafia Berkeley-nya Suharto dengan para
CEO Yahudi di Jenewa, Swiss, Nopember 1967, menghasilkan keputusan yang
di luar akal sehat. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat
(Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris),
dengan pembagian laba untuk asing 99% dan Indonesia cuma 1%.
Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa
Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan
hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai
Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi
Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr.
Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo,
Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius
Prawiro, yang seluruhnya berorientasi kapitalistis.
Orde Baru, Ciptaan Elit Yahudi
“Indonesia Baru” yang pro-kapitalisme telah dirancang elit
dunia sejak era 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer
berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya
Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts,
1970) memaparkan, AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan
Indonesia setelah menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu
kelompok intelektual yang berpikiran Barat.
Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang
siap melayani kepentingan AS. Yang pertama didalangi berbagai yayasan
beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga
berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan
juga MIT. Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya
bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati
sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil
direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel
Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah,
demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid
dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi
kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama
antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 , kelompok ini
mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat
binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan
kelompok ini.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan
bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan
politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru
itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke
pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”
Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program
ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh
AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi,
AID mendatangkan David Cole—ekonom Harvard yang baru saja membuat
regulasi perbankan di Korea Selatan—untuk membantu Widjojo. Sadli juga
sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut
seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana
seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus
mendapatkan banyak “Bimbingan” dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh para
ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dibimbing oleh
para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Mantan Economic Hitmen, John Perkins, menyatakan jika
Repelita sesungguhnya hanyalah rencana AS untuk bisa merampok, menjarah
secara besar-besaran, dan menguasai Indonesia. Rencana ini disusun
dalam tempo duapuluhlima tahun yang dibagi-bagi menjadi lima
tahunan. “Keberadaan kita (Bandit Ekonomi, penulis) di sini tak lain
untuk menyelamatkan negara ini dari cengkeraman komunisme (dalih,
penulis). ….Kita tahu Amerika sangat tergantung pada minyak Indonesia.
Indonesia bisa menjadi sekutu yang andal dalam hal ini (bekerjasama
dengan rezim Jenderal Suharto, penulis). Jadi, sembari mengembangkan
rencana pokok, lakukan apa saja semampu kalian untuk memastikan industri
minyak dan segala industri lain pendukungnya—pelabuhan, jalur pipa,
perusahaan konstruksi—tetap memperoleh aliran listrik sebanyak yang kita
butuhkan selama rencana duapuluh lima tahun ini berjalan, ” demikian
tulis John Perkins mengutip pernyataan bos-nya, Charlie Illingworth.
Sosok Jenderal Suharto di mata AS, disamakan dengan sosok
Shah Iran, Boneka AS. “Kami berharap Suharto melayani Washington seperti
halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa: Tamak, angkuh, dan bengis…”
(John Perkins)
Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekerja dengan arahan
langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory
Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang
layar, tidak secara terang-terangan,” aku Wakil Direktur DAS Lister
Gordon. AS memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga
stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa
sebelum 1965, bisa sedikit demi sedikit dipulihkan. Mereka inilah yang
berada di belakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan
mengutamakan penanaman modal asing dan ‘swasembada’ hasil pertanian.
Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer
di daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini. Mereka
bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah
dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah
yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok
pusat, dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga
menindas para petani yang bekerja di lapangan. Rakyat kecil tetap
dalam penderitaannya dan tumbuh satu kelas baru di negeri ini yaitu
kelas elit yang kaya raya berkat melayani Washington.
Pada April 1966 Suharto kembali membawa Indonesia
bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika
Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir
mereka dengan kalimatnya yang terkenal: ”Go to hell with your aid!”
Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini,
maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I
(1969-1974) berasal dari utang luar negeri. “Jumlahnya membengkak hingga
US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang
diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno
berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept
2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan
pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan keluarganya kian
menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang para pejabat walau
sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka
sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto dengan para
mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.
Francis Raillon menulis, “Sepanjang 1972-1973 di sekitar
Suharto terjadi rebutan pengaruh antara ‘kelompok Amerika’ melawan
‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan
sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok
kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend.
Soedjono Hoemardhani.” (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa
Indonesia 1966-1974; Des 1985)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar