Senin, 18 April 2016

13 Rukun-Rukun Shalat Yang Wajib Diketahui

Wednesday, January 29th 2014. | Rukun ShalatadvertisementsAssalamua’laikum Wr. Wb. Sebelum membahas lebih dalam tentang cara shalat wajib dan shalat sunah kita pertama harus mengetahui syarat sah sholat dan rukun shalat, untuk sebelumnya syarat sah shalat sudah kami informasikan pada artikel sebelumnya atau klikdisini. Untuk sekarang adalah membahas lanjutan dari ilmu sebelumnya yaitu rukun shalat.Rukun Salat (Arab: أركان الصلاة) ialah setiap perkataan atau juga perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu dalam rukun ini tidak ada atau tidak dilakukan, maka shalat yang dikerjakan tidak dianggap secara syar’i dan tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Rukun-rukun shalat terdiri dari 13 rukun yang wajib anda ketahui :
Berdiri bagi yang mampu
Takbiiratul-Ihraam,
Membaca Al-Fatihah pada setiap rakaatnya,
Ruku’,
I’tidal setelah ruku’,
Sujud dengan anggota tubuh yang tujuh sebanyak dua kali dengan tuma’ninah,
Duduk di antara dua sujud,
Thuma’ninah (Tenang) dalam semua amalan,
Tertib rukun-rukunnya,
Tasyahhud Akhir,
Duduk untuk Tahiyyat Akhir,
Shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Salam dua kali.

Penjelasan tenatang Rukun Shalat diatas dilihat dari firman Allah dan Hadist
.1. Berdiri tegakBerdiri tegak pada saat shalat fardhu untuk orang yang mampu, Dalilnya terdapat pada firman Allah ‘azza wa jalla QS:Al-Baqarah:238,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada HR. Al-Bukhary,“Shalatlah dengan berdiri…”
2. Takbiiratul-ihraam,Takbiiratul-ihraam ialah mengucapan: ‘Allahu Akbar’, tidak boleh dengan ucapan atau kata lain
.3. Membaca Al-FatihahMembaca Al-Fatihah merupakan rukun pada setiap raka’at, sebagaimana yang tercantum dalam hadits Muttafaqun ‘alaih
,4. Ruku’
5. I’tidal atau Berdiri tegak setelah ruku’
6. Sujud dengan tujuh anggota tubuh
7. Duduk di antara dua sujudmembahas Duduk di antara dua sujud terdapat Dalil dari rukun ini ialah firman Allah ‘azza wa jalla QS: Al-Hajj:77
,8. Thuma’ninah dalam semua amalan shalat
9. Tertib urutan untuk tiap rukun yang dikerjakanDalil rukun-rukun ini adalah hadits musii` (orang yang salah shalatnya),
10. Tasyahhud AkhirTasyahhud akhir termasuk dalam urutan rukun shalat sesuai hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Tadinya, sebelum diwajibkan tasyahhud atas kami, kami mengucapkan: ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih, assalaamu ‘alaa Jibriil wa Miikaa`iil (Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya dan keselamatan atas Jibril ‘alaihis salam dan Mikail ‘alaihis salam)’, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hadits keseluruhannya. Lafazh tasyahhud bisa dilihat dalam kitab-kitab yang membahas tentang shalat seperti kitab Shifatu Shalaatin Nabiy, karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan kitab yang lainnya.
11. Duduk Tasyahhud AkhirMembahas tentang Duduk Tasyahhud Akhir, Sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh (Muttafaqun ‘alaih),
12. Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamShalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
,13. Dua Kali SalamSesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dua kali salam,Itulah tadi pembahasan mengenai rukun shalat, setelah anda membaca artikel dari kami semoga anda akan lebih mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengerjakan ibadah sholat agar lebih khusuk dan sholat diterima pahalanya.

Jumat, 22 Januari 2016

Pengertian Rukun Dan Syarat


Syarat adalah
 suatu yang harus ditepati sebelum mengerjakan sesuatu. Kalau syarat sesuatu tidak sempurna, maka pekerjaan itu tidak sah.

Rukun adalah
 sesuatu yang harus dikerjakan dalam memulai sesuatu pekerjaan, rukun disini berarti bagian yang pokok seperti membaca fatihah dalam sholat yang merupakan pokok bagian sholat.
Sesuatu dikatakan sah bila Syarat dan rukunnya terpenuhi.

Kamis, 21 Januari 2016

JAMAAH TABLIGH

۝

“Dan hak bagi Allah ( menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya ( kepada jalan yang benar).” ( An-Nahl :9).”

مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَوٰةَ وَلاَ تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۝ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًاۖ كُلُّ حِزْبِۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ۝

“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepadaNya serta dirikan shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” ( Ar-Rum : 31-32).”
Saya akan menyajikan kepada semua orang yang cinta akan agamanya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai ikutannya. Sebuah buku yang di tulis oleh saudara ” Nizar bin Ibrahim Al-Jarbu, yang di beri judul ” Waqfaat ma’a Jama’ah at-Tabligh” di Indonesiakan ” Peringatan Penting Terhadap Jama’ah Tabligh” Penerjemah : “Saudara; “Arif Mufid.” Penerbit; Yayasan Al-Madinah; cetakan pertama: Rabi’ul Tsani 1419H / Agustus 1998M.
A. Berdirinya Jama’ah 
Jama’ah Tabligh didirikan di India oleh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi. Penyebarannya mulai di India dan Pakistas, kemudian mencapai negara-negara Arab dan negeri-negeri Islam lainnya. Hingga jama’ah ini mempunyai markas-markas dan dai-dai di negeri-negeri tersebut. Tak hanya satu, gerakan jama’ah ini pun mencapai negara-negara non Islam. Di sanalah jama’ah ini mempunyai kegiatan untuk memperkenalkan Islam dan berdakwah kepadanya.
Pusat kepemimpinannya ada di India di perkampungan Nidzam ad-Din, Delhi. Dan dari sanalah keluar perintah-perintah dan pelajaran-pelajaran bagi jama’ah.
Jama’ah ini juga mempunyai perkumpulan-perkumpulan besar yang dihadiri oleh banyak kumpulan dari berbagai negeri di belahan dunia.
B. Tujuan-tujuan Jama’ah
Tujuan dakwah Jama’ah ini terfokus pada terealisasinyya enam landasan pokok yang mereka ulang-ulang di waktu pagi dan sore. Keenam landasan pokok itu adalah:
1. Merealisasikan syahadat bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Dengan prinsip ini mereka bermaksud mengeluarkan dari hati keyakinan rusak terhadap sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar tentang Dzat Allah; bahwa Allah sebagai Pencipta ( Al-Khaliq), Pemberi reziki (ar-Raziq), Pemberi manfaat ( an-Nafi’), Yang Menghidupkan ( al-Muhyi). Maka merekapun mengartikan kalimat tauhid hanya atas makna Rububiyyiah saja. Sedang makna Uluhiyyah, dilalaikan. Baik secara ilmu maupun amalnya. Khususnya oleh orang-orang ‘ajam ( bukan Arab) dari golongan mereka.
2. Shalat dengan khusyu’ Maka mereka mempunyai perhatian besar untuk menunaikan shalat bagaimanapun sibuknya. Demikian pula untuk khusyu’ di dalam shalat, berusaha mendapatkan shaf yang pertama dan mendapatkan takbiratul ihram ( bersama imam, pent), serta memperbanyak shalat-shalat sunnah. Semua ini adalah perkara-perkara yang dicari dari seorang muslim dan diberi pahala jika mengerjakannya. Tetapi mereka ( jama’ah Tabligh) lalai untuk mempelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnah dan hukum-hukum shalat tersebut.
3. Ilmu; yang mereka maksud dengan ilmu adalah ilmu fadhail al-a’mal ( amalan-amalan yang utama) dan ilmu tentang aturan-aturan jama’ah dan perintah-perintahnya, thariqat-thariqat para syaikhnya serta ilmu tentang permisalan-permisalan yang mereka buat. Adapun ilmu tentang hukum-hukum dan masalah-masalah fiqh serta ilmu tauhid, mereka tidak mendapat kedudukan sedikit pun.
4. Memperbaiki niat, agar amalan-amalan bersih dari riya’ dan sum’ah.
5. Memuliakan seorang muslim dan bersikap lembut terhadapnya. Serta berlebih-lebihan di dalam perkara tersebut dengan meninggalkan nasehat dan pengingkaran ( nahi munkar) demi menjaga persatuan hati.
6. Keluar ( khuruj) di jalan Allah, mereka mengartikan dengan keluar bersama untuk berdakwah.
C. Tahapan-tahapan Tabligh
Jama’ah Tabligh, dalam menyampaikan dakwah dan merealisasikan keenam landasan pokok, bersandar mutlak pada khuruj ( keluar) dan berbaur bersama kaum muslimin di masjid-masjid, rumah-rumah, tempat-tempat berdagang dan tempat-tempat berkumpulnya mereka. Merekapun menyampaikan nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran dan bujukan-bujukan agar mau khuruj (keluar) bersama mereka untuk berdakwah. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain mewajibkan dirinya untuk bergaul dengan baik, ramah-tamah dan tawadhu’ terhadap kaum muslimin. Menyatukan hati-hati mereka dengan meninggalkan pengingkaran terhadap kemungkaran atas mereka. Dengan cara tersebut mereka bisa menguasai hati-hati dan perasaan-perasaan khalayak. Cara ini meliputi tiga tahap:
1. Tahap Pertama
Memberi pengarahan kepada para anggota jama’ah di markas induk dan menganjurkan berdakwah. Memberi peringatan kepada mereka, yang disampaikan salah seorang yang sudah dikhusukan untuk itu, dengan lemah lembut, sopan santun dan memberi pengarahan-pengarahan secara umum. Juga menganjurkan untuk melakukan qiyamul-lail walaupun hanya sebentar saja.
2. Tahap Kedua
Setelah keluar dari markas, sebelum memulai dakwah di daerah yang dituju, mereka saling mengingatkan. Sebagian menyebutkan apa yang mengusik perasaannya dan menyatakan bisikan-bisikan jiwanya. Yang lainnya membuat permisalan-permisalan yang sesuai dengan realiti. Dibacakan Kitab Riyadh ash-Shalihin ( bagi kumpulan orangg-orang Arab) dan Kitab Tabligh Nashshab ( gabi kumpulan orang-orang ‘Ajam, bukan Arab). Kemudian mereka memperkenalkan diri pada umum dan muadzin masjid serta sebagian penduduk kampung. Hal ini merupakan perkara terpenting untuk kesuksesan dakwah mereka.
3. Tahap Ketiga
Berkeliling menemui manusia di tempat-tempat perdagangan dan tempat-tempat umum untuk memberikan nasihat dan bimbingan. Juga disampaikan pula nasihat-nasehat dan ppelajaran-pelajaran di masjid-masjid. Hal itu dilakukan selesai shalat, biasanya setelah shalat maghrib. Di dalam menyampaikan nasehat, si penasehat tidak akan keluar dari keenam landasan pokok serta banyak berdalil dengan hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu), juga dengan landasan-landasan orang yang diberi petunjuk oleh Allah dengan perantaraan tangan jama’ah ini dan kisah-kisah aneh di dalam masalah tersebut. Diantara kejadian yang aneh dan menyedihkan, bahwa salah seorang dari mereka berdiri untuk memberi nasehat di suatu masjid. Tatkala dia mulai bicara dan menyebutkan salah satu surat dari Al-Qur’an – yaitu surat Al-Ashr- orang ini gagap dan bimbang di dalam bicaranya, sehingga imam masjid harus membantunya. Adapun dia ( imam masjid) tidak tahu siapa mereka. Akhirnya, imam itupun berbicara menggantikan orang tersebut. Hal itu terjadi di depan orang banyak, dan saya pun ( penulis kitab ini) hadir pada peristiwa tersebut beberapa tahun yang lalu. Hal itu disebabkan terlalu seringnya mereka mengajukan orang yang tidak berilmu dan tidak mempunyai fiqh ( pemahaman tentang agama) untuk menasehati kaum muslimin. Akhirnya mereka pun minta kepada hadirin untuk khuruj ( keluar) bersama mereka guna berdakwah di jalan Allah.
D. Sumber Pengambilan Jama’ah Tabligh
Sumber pengambilan ilmu jama’ah Tabligh dalam dakwah bersandar pada  tiga kitab:
1. Kitab Riyadh ash-Shalihin karya An-Nawawi, umumnya mereka khususkan kitab ini untuk orang-orang Arab, ( Di Indonesia, Kitab tersebut digunakan pula walaupun dalam bentuk terjemahan. Dan tidak sedikit dari mereka yang hanya membacakan terjemahannya semata. Bahkan banyak diantaranya yang belum lancar membaca huruf Arab, pent).
2. Kitab Tabligh Nashshab, karya Muhammad Zakaria al-Kandahlawi. Merupakan kitab induk bagi jama’ah, bahkan bagi sebagian penduduk perkampungan India. Di dalam kitab ini terdapat bid’ah-bid’ah, khurafat, kesyirikan-kesyirikan. Lebih-lebih lagi hadits-hadits maudhu (palsu) dan dha’if ( lemah).
3. Kitab Hayat ash-Shahabah, karya Muhammad Yusuf al-Kandahlawi ( dia adalah putra Muhammad Ilyas pendiri Jama’ah Tabligh. Dia ( Muhammad Yusuf) menjadi pimpinan jama’ah setelah kematian bapaknya). Kitab ini juga seperti sebelumnya, penuh dengan cerita yang dibuat-buat, hadits-hadits maudhu’ dan dha’if.
Ulama Jama’ah Tabligh
Tidak dikenal bagi kalangan anggota jama’ah Tabligh para ulama yang dijadikan rujukan. Maka hampir tidak pernah engkau lihat seorang penuntut ilmu pun yang diperhitungkan ( mu’tabar) berada di barisan mereka. Hal itu karena jauhnya mereka dari ilmu dan ahlinya. Sebagaimana dikemukakan di muka, bila mereka diberi pelajaran-pelajaran dan perintah-perintah dari pimpinan di India, mereka melaksanakan sebagaimana adanya.
Beberapa tahun yang lalu saya ( penulis buku ini, Nizar), mendapatkan sebagian potokapi surat-menyurat antara seorang da’i di Majlis ifta’ di Kerajaan ( Saudi, pent) yaitu ” Beliau adalah Syaikh Sa’d al-Hushain dan tulisan-tulisan beliau di dalam menasihati Jama’ah Tabligh dan orang-orang yang tertipu dengan jama’ah ini sudah beredar. Dan itu adalah sebagai bantahan atas mereka. Karena beliau termasuk da’i-da’i besar yang telah mencapai tujuan yang besar pada jama’ah, dan memungkinkan beliau untuk mengenal Jama’ah Tabligh dengan sebenarnya serta mengungkap sisi-sisi penyimpangan yang fatal pada manhaj jama’ah ini. Beliau ini berdakwa dengan amir mereka In’am al-Hasal. Dalam surat-menyuratnya da’i ini mengkritik amir jama’ah tentang pembai’atannya terhadap beribu-ribu orang ‘ajam ( selain Arab) dan sejumlah pemuda di jazirah Arab atas empat thariqat Shufiyyah, yaitu : al-Jisytiyyah, an-Naqsyabandiyyah, al-Qadiriyyah dan as-Sahrawardiyyah.
Adalah amir dakwah serta para pemukanya mempunyai dua muka. Salah satunya, mereka tampilkan muka tersebut untuk penduduk Nejd dan orang yang konsisten dengan sunnah. Sedang yang lain, mereka tampilkan muka tersebut kepada orang yang bergelimang dengan bid’ah dari orang-orang ‘ajam dan penduduk dunia lainnya. Beliau ( Syaikh Sa’id al-Hushain) juga mengingkari amir tersebut tentang pengingkaran sebagian tokoh-tokoh dakwah di dalam akidah mereka, seperti al-Qadhi Abdulqadir dan tulisan rajah-rajahnya yang penuh dengan mantra-mantra. Dan ( beliau) juga mengingkarinya tentang pengkhususan orang-orang  Arab dengan kitab Riyadh ash-Shalihin dan pengkhususan orang-orang ‘ajam ( selain Arab) dengan kitab Tablighi Nashshab yang penuh dengan khurafat dan kesyirikan, di antaranya meminta syafaat dari Nabi SAW, dan kisah bahwa Nabi SAW mengeluarkan tangan beliau dan mengucapkan salam kepada Ahmad ar-Rafa’i di hadapan sembilan puluh ribu orang Islam.
Kemudian amir jama’ah, In’am al-Hasan, membalas surat beliau dengan pengakuan tertulis tentang diambilnya baiat kaum muslimin atas empat thariqat ini dengan alasan bahwa baiat atas thariqat-thariqat ini sudah sudah merebak dan tersebar di pelosok-pelosok India. Kalau dia tidak membaiat kaum muslimin di sana, niscaya mereka akan membaiat orang lain, sehingga mereka akan terjerumus dengan perbuatan tersebut ke dalam jaring-jaring ahli bid’ah kalangan sufi dan orang-orang zindiq. Dan dia juga beralasan, tatkala membantah pengingkaran dai ini terhadap penyimpangan sebagian tokoh-tokoh dakwah di dalam aqidah mereka dengan perkataan bahwa tidak bisa dipungkiri kalau kebanyakan manusia tatkala bertaubat dan kembali kepada ash-shirath al-mustaqim, pada diri mereka masih ada bekas-bekas pengimpangan di masa lalu. Maka, dengan jawaban tersebut, dia menghendaki taubatnya orang sepantar syaikh-syaikh tersebut – yang merupakan tokoh – dari kesesatan dan penyimpangan.
Dalam suratnya, dijawab pula pengingkaran terhadap kekhususan kitab Tablighi Nashshab bagi orang ‘ajam ( selain Arab) yang didalamnya penuh dengan khurafat, kesyirikan dan hadits-hadits dha’if. Jawabannya, bahwa sebagian ulama salaf, seirama dengan tinggihnya martabat mereka di dalam masalah hadits, tatkala mereka menyusun kitab tentang fadhail al-a’mal ( amalan-amalan yang utama), mereka memudah-mudahkan (tasahul) dan menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if.
Dia pun berkelit pula dari maksud mengingkari perkara terbesar yaitu kesyirikan dan khurafat yang terdapat di dalam kitab ini.
F. Perkara-perkara yang diharamkan menurut jama’ah
Termasuk prinsip-prinsip jama’ah ( Tabligh, pent) adalah melarang para anggotanya untuk tenggelam dalam masalah-masalah aqidah ( tauhid) atau masalah-masalah fiqh. Karena jama’ah berpendapat bahwa masalah tersebut akan membuka pintu-pintu kejelekan, melarikan kaum muslimin dari jama’ah tersebut dan terkadang menyebabkan terjadinya kendala-kendala di hadapan dakwah. Juga dilarang menuntut ilmu ketika berada di dalam barisannya. Kalau ada seseorang dari anggota menuntut ilmu niscaya mereka akan menghalangi sebagaimana pernah terjadi pada saudara-saudara kita. Demikian pula diantara manhaj mereka adalah tidak mau mengingkari bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan yang membuat manusia kacau. Bahkan perkaranya lebi komplek dari itu semua. Mereka, pada dasarnya, tidak memegang prinsip mengingkari kemungkaran dan hanya mencukupkan dengan amar ma’ruf saja.
Perkara-perkara yang dianjurkan menurut jama’ah
Tasawwuf sangat mendominasi anggota-anggota jama’ah. Sehingga mereka bersamangat untuk ibadah dan dzikr ( walaupu dengan cara membuat bid’ah yang tidak di izinka oleh Allah), melatih diri dengan sedikit makan, ( tapi sebaliknya merekalah yang gemuk-gemuk setelah pulang dari khuruj,pent), berjaga malam dan kurangkan pembicaraan. Merekapun mencurahkan perhatian yang besar terhadap mimpi dan takwilnya. Mimpi tesebut mempunyai pengaruh yang kuat di dalam kehiduppan dan dakwah mereka. Begitu pula mereka mempunyai perhatian terhadap keadaan-keadaan yang terjadi di saat berdakwah dan beribadah. Dan mereka pun mempunyai cerita-cerita aneh tentang masalah tersebut.
Salah seorang da’i mereka, dia seorang yang terkenal di Riyadh, yang giat di dalam dakwah bercerita kepada saya ( penulis buku ini pent), bahwa seseorang dari pengikut-pengikut mereka menceritakan kepadanya tatkala dia sedang berzikir di masjid setelah shalat subuh dalam keadaan duduk dan meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya, tiba-tiba tangannya dipegang seseorang seraya berkata ( padahal dia tidak melihatnya) : assalam ‘alaikum. Hal itu berulang beberapa kali. Maka al-akh ( saudara) yang menceritakan kisah ini mengatakan kepadanya Allahu Akbar. Inilah malaikat yang menyalamimu.” Maka aku katakan kepada al-akh da’i ini dan juga kepada yang hadir, barangkali itu adalah syaitan yang ingin memfitnahnya” Lalu saya pun memberi nasehat kepada mereka untuk berhati-hati dari tempat-tempat yang bisa menggelincirkan seperti itu, dan untuk tidak peduli terhadap khayalan yang mereka anggap sebagai karamah. Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana seorang ahli tauhid bisa terpengaruh bid’ah-bid’ah yang mungkar semacam ini, padahal masanya masih dekat dengan dakwah tauhid, La haula wala quwwata illa billah.
Kesalahan-kesalahan Dan Penyimpangan Jama’ah Tabligh Dari Manhaj Syar’i
Kesalahan-kesalahan dan penyimpangan jama’ah Tabligh dari manhaj syar’i, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jama’ah Tabligh bermanhaj dengan manhaj sufi di dalam masalah aqidah, dakwah dan ibadah-ibadahnya serta pada akhlak para anggota amir dan syaikhnya.
2. Pembaiatan yang dilakukan jama’ah Tabligh dan sebagian syaikhnya terhadap orang awam dan sebagaian orang Arab berdasar empat Tharikat sufi yaitu:” al Jisytiyyah, al Qadariyyah, an Naqsabandiyyah, dan as- Sahrawardiyyah.
3. Ketetapan sandaran mereka kepada kitab Tabligh Nashshab, karya Mohammad Zakaria al Kandahlawi, padahal di dalamnya terdapat bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan berbagai bentuk Tasawwuf. Dan kitab Hayat ash-Shahabah; karya Muhammad Yusuf al-Kandahlawi yang penuh dengan cerita-cerita karut dan hadits-hadits dhaif (lemah) dan maudhu (palsu).
4. Mereka membatasi Islam hanya pada bagian ibadah-ibadah, dzikir-dzikir, kadang-kadang menambah-nambah dan merekah-rekah.
5. Melalaikan ilmu dan ahlinya ( tak mau belajar ilmu kepada ahlinya) maka itu kita tak pernah melihat ada ulama di kalangan mereka menjadi rujukan.
6. Mereka berdakwah kepada agama Allah dengan tanpa ilmu dan bashirah ( hujah yang jelas).
7. Mereka banyak berdalil dengan hadits-hadits dhaif dan maudhu yang tiada asal muasalnya.
8. Pengelompokan dan menyendiri dengan suatu jama’ah tersendiri yang manhajnya menyelisihi manhaj ahlu as-Sunnah wal jama’ah.
( lihat kitab Waqfaat ma’a Jama’ah at-Tabligh; judul Edisi Indonesia; Peringatan Peting Terhadap Jama’ah Tabligh, penulis Nizar bin Ibrahim al-Jarbu’ Penerjemah; Arif Mufid, Penerbit; Yayasan Al-Madinah jln Slamet Riyadi 327 Makamhaji Surakarta 57161, cetakan pertama : Rabi’ul Tsani 1419H Agustus 1998M.
Fatwa Lajnah Daimah ( Lembaga tetap) tentang Jama’ah Tabligh, no, Fatwa; 17776, tertanggal 18/3/1416H. Seorang penanya ( Mohammad Khalid al Habsi bertanya kepada Syaikh Ibnu Baz, ada empat soalan: ”
1. Membuat lingkaran di dalam masjid setiap dua orang
2. Ber i’tikaf pada setiap hari kamis dalam bentuk terus menerus
3. Membatasi hari untuk khuruj, 3, hari, 7 hari, 1, bulan, 40, hari setiap tahun, dan 4 bulan se umur hidup
4. Selalu berdo’a berjama’ah setiap setelah bayan
Bagaimana wahai Syaikh yang mulia!
Beliau menjawab
Apa yang telah anda sebutkan dari perbuatan jama’ah ini ( Jama’ah Tabligh) seluruhnya adalah bid’ah, maka tidak boleh ikut serta sama mereka sampai mereka berpegang teguh dengan manhaj Kitab dan Sunnah serta meninggalkan bid’ah-bid’ah.
Tertanda : Ketua Lajnah Abdul Aziz bin Abd bin Baz
Anggota :  Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syeikh
: Shalih bin Fauzan al Fauzan
: Bakr bin Abdullah Abu Zaid
Ditulis oleh Rabi’bin Hadi Al Madkhali pada 29 Muharram 1421H.

SYARAT SAH SHALAT

SYARAT-SYARAT SAHNYA SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa': 103].

Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.

B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah...” [Al-Maa-idah: 6].

Dan hadits Ibnu 'Umar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.

"Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci." [1]

C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.

"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya."[2]

Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:

تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.

"Wudhu' dan basuhlah kemaluanmu." [3]

Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.

"Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah." [4]

Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:

أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.

“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]

Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.

Berdasarkan hadits Abu Sa'id: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, 'Kenapa kalian melepas sandal kalian?' Mereka menjawab, 'Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.' Beliau berkata, 'Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.'”[6]

D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” [Al-A'raaf: 31].

Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]

Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu'aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:

مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.

“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]

Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:

غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.

"Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat." [9]

Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.

“Wanita adalah aurat.” [10]

Juga sabda beliau:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup." [11]

E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: 

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“... maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya...” [Al-Baqarah: 150].

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.

“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu'lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat...” [12]

Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.

Allah berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan...” [Al-Baqarah: 239].

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”

Nafi' berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [13]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]

Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.

Dari 'Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

“... maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah...” [Al-Baqarah: 115].”[15]

F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha'...” 

Ini semua adalah bid'ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha'if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

RUKUN SHALAT

TATA CARA SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


A. Rukun-Rukun Shalat
Shalat memiliki beberapa kewajiban dan rukun yang hakekat shalat itu tersusun darinya. Sehingga, jika satu rukun saja tertinggal, maka shalat tersebut tidak terealisir dan secara hukum tidak di-anggap (batal). Berikut adalah rukun-rukunnya:

1. Takbiratul ihram
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَـا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.

"Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam."[1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ.

"Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah." [2]

2. Berdiri bagi yang mampu saat mengerjakan shalat wajib
Allah berfirman:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“... Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” [Al-Baqarah: 238]

Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat sambil berdiri. Beliau juga menyuruh 'Imran bin Hushain untuk mengerjakan yang demikian. Beliau berkata kepadanya:

صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.

"Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring (yaitu di atas tubuh bagian kanan dengan wajah menghadap kiblat.-ed." [3]

3. Membaca al-Faatihah pada setiap raka'at
Dari 'Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

"Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah)."[4]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang buruk shalatnya untuk membacanya kemudian berkata, "Kemudian lakukanlah yang seperti itu pada seluruh shalatmu." [5]

4, 5. Ruku' secara thuma'ninah (tenang)
Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” [Al-Hajj: 77]

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَعِنَّ رَاكِعًا.

"Kemudian ruku'lah hingga kau merasa tenang dalam ruku'mu." [6]

6, 7. Berdiri tegak setelah ruku' sambil thuma'ninah di dalamnya
Dari Abu Mas'ud al-Anshari Radhiyallahu anhuma. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya dalam ruku' dan sujud." [7]

Beliau juga berkata kepada orang yang buruk shalatnya:

ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا.

"Kemudian bangkitlah hingga kau tegak berdiri." [8]

8, 9. Sujud dan thuma'ninah di dalamnya
Berdasarkan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu...” [Al-Hajj: 77]
.
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk shalatnya, "Kemudian bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma’ninah dalam dudukmu. Lantas bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu." [9]

Anggota sujud:
Dari Ibnu 'Abbas, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ.

"Aku diperintah untuk bersujud di atas tujuh tulang: di atas dahi, -sambil menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki." [10]

Juga dari Ibnu 'Abbas, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.

"Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya." [11]

10, 11. Duduk di antara dua sujud serta thuma'ninah padanya
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan (meluruskan) punggungnya dalam ruku' dan sujud."

Juga berdasarkan perintah beliau pada orang yang buruk shalatnya agar melakukan hal ini, sebagaimana telah dibicarakan dalam pembahasan sujud.

12. Tasyahhud akhir
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Sebelum diwajibkan tasyahhud, dulu kami mengucapkan:

"اَلسَّلاَمُ عَلَـى اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَـى جِبْرِيْلَ وَمِيْكَـائِيْلَ،" فَقَـالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، وَلكِنْ قُوْلُوْا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ...

"Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Jibril dan Mikail." Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Janganlah kalian mengucapkan seperti itu. Tapi ucapkanlah, 'Segala penghormatan... [12]

Catatan:
Riwayat paling shahih tentang tasyahhud adalah riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku tasyahhud secara langsung sebagaimana mengajariku surat al-Qur-an.

"التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ."

“Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitupula seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkahNya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya."[13]

Catatan lain:
Sabda beliau:

"اََلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ."

"Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan barakah-Nya." 

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (II/314), "Terdapat pada sejumlah jalur hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ini adanya konsekuensi perbedaan antara zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan kita) sehingga (pada waktu itu) diucapkan dengan lafazh kalimat langsung. Adapun (zaman) selanjutnya, maka diucapkan dengan lafazh tidak langsung. Dalam kitab "al-'Isti'dzan" pada Shahiih al-Bukhari dari jalur Abu Ma’mar, dari Ibnu Mas'ud. Setelah menyebutkan hadits tasyahhud dia berkata, "Beliau (masih) berada di antara kami. Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ، يَعْنِيْ عَلىَ النَّبِيِّ (semoga kesejahteraan terlimpahkan, -maksudnya- atas Nabi), maksudnya kepada Nabi." Seperti itulah disebutkan dalam al-Bukhari. Abu 'Awwanah juga mengeluarkannya dalam kitab Shahiihnya. Begitu pula as-Siraj, al-Jauzaqi, Abu Nu'aim al-Ashbahani, dan al-Baihaqi dari berbagai jalur menuju Abu Nu'aim guru al-Bukhari. Di situ disebutkan dengan lafazh, "Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan "اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ" tanpa lafazh: يعنى (maksudnya). Begitupula riwayat Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Nu'aim.

As-Subki berkata dalam Syarh al-Minhaaj setelah menyebutkan riwayat ini dari jalur Abu 'Awwanah secara sendiri, "Jika benar ini dari Sahabat, maka menunjukkan bahwa kalimat langsung dalam salam setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak wajib. Maka dikatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Saya berkata (al-Hafizh), “Riwayat tersebut shahih tidak diragukan lagi. Saya telah menemukan jalur lain yang menguatkan. 'Abdurrazzaq berkata, "Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, 'Atha’ memberitahuku bahwa dulu semasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup para Sahabat mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَـا النَّبِيُّ”. Ketika beliau sudah meninggal, mereka mengatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Ini adalah sanad yang shahih.

Al-Albani berkata dalam Shifatush Shalaah (hal. 126), "Itu pasti berdasarkan petunjuk langsung dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini juga diperkuat oleh riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa dia mengajari mereka tasyahhud dalam shalat: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ” diriwayatkan as-Siraj dalam Musnadnya (II/1/9) dan Mukhallash dalam al-Fawaa-id (I/54/11) dengan dua sanad yang shahih dari ‘Aisyah.

13. Shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah tasyahhud akhir
Berdasarkan hadits Fadhalah bin 'Ubaid al-Anshari: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang sedang shalat. Dia tidak memuji dan mengagungkan Allah. Tidak pula bershalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia lalu pergi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas berkata, "Orang ini terlalu tergesa-gesa." Kemudian beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya dan kepada selainnya, "Jika salah seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan sanjungan dan pujian pada Rabb-nya lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu dia boleh berdo’a sesuka hatinya." [14]

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Seorang laki-laki datang dan duduk di depan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan kami berada di sisi beliau. lalu dia berkata, "Wahai Rasulullah, adapun mengucap salam atas engkau, maka kami sudah tahu. Lalu bagaimanakah kami bershalawat atas engkau jika kami bershalawat atas engkau dalam shalat-shalat kami? Semoga Allah mencurahkan keselamatan-Nya atas engkau?" Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, "Beliau terdiam hingga kami berharap laki-laki itu tak pernah menanyainya (seperti itu)." Beliau kemudian berkata, "Jika kalian bershalawat atasku, maka ucapkanlah: 

"اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ..."

“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang buta huruf, serta kepada keluarga Muhammad...” [15]

Catatan:
Kalimat shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang terbaik adalah yang diriwayatkan Ka'b bin 'Ujrah, dia mengatakan bahwa kami berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui atau mengenal bagaimana mengucap salam atas engkau. Lalu bagaimana dengan shalawatnya?" beliau berkata, "Ucapkanlah: 

"اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ."

"Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung. Serta berilah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung.” [16]

14. Salam
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَالتَّحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.

"Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam."[17] 

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsi