Segala puji hanyalah bagi Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya
bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan
salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat.
Amma ba’du :
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama
bagimu” (QS. Al Maidah, 3).
“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ? Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan
memperoleh azab yang pedih” (QS. As syuro, 21).
Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.
Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dalam shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata : bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu
khutbah Jum’at nya :
“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Al
Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang
diada adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu sesat” (HR.
Muslim).
Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal
mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah
menyempurnakan untuk umat ini agamanya, Dia telah mencukupkan nikmatNya
bagi mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah
beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan
menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan
maupun perbuatan.
Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh
sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam
baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bad’ah yang ditolak,
meskipun niatnya baik.
Para Sahabat dan para Ulama mengetahui hal ini, maka mereka
mengingkari perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari
padanya, hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan
Sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan
As Syaamah dan lain lain.
Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah
mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban (tanggal 15 sya'ban,
red), dan menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal
tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada
hadits-hadits yang menerangkan tentang fadlilah malam tersebut, tetapi
hadits-hadits tersebut dhoif, sehingga tidak dapat dijadikan landasan,
adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah
maudlu /palsu.
Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang
lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan
fadlilah sholat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan
sebagian dari ucapan mereka.
Pendapat para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam
bukunya “Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu
sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya
semuanya lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika
asalnya didukung oleh hadits yang shoheh, sedangkan upacara perayaan
malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar yang shohih, sehingga tidak bisa
didukung dengan dalil hadits-hadits yang dlo’if.
Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil
pendapat para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi
jelas. Para ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk
mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab
Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits), apa saja yang telah
digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka
wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus
ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah
disebutkan (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh
dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakannya dan menganggapnya
baik.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’ :
“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya),
dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah)
kepada Allah (yang mempunyai sifat sifat demikian), itulah Tuhanku,
KepadaNya-lah aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali” (QS. Asy
syuro, 10).
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ” (QS. Ali
Imran, 31).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65).
Dan masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna dengan ayat
ayat diatas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar
supaya masalah masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al
Qur’an dan Al Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum
yang ditetapkan oleh keduanya. Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi
iman, dan merupakan perbuatan baik bagi para hamba, baik di dunia atau
di akherat nanti, dan akan mendapat balasan yang lebih baik.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab berkata
dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” : para Tabi'in penduduk Syam (Syiria
sekarang) seperti Kholid bin Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan
lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada
malam Nisfi Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan
dan bentuk pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya
cerita-cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke penjuru dunia,
berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada
juga yang mengingkarinya, golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan
lainnya, sedangkan golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas
penduduk Hijaz (Saudi Arabia sekarang), seperti Atho dan Ibnu Abi
Mulaikah, dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ulama
fiqih Madinah, yaitu ucapan para pengikut Imam Malik dan lain lainnya ;
mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah, adapun pendapat
ulama Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan adanya dua pendapat :
1- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamaah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam
tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar
kemenyan, memakai sipat (celak), dan mereka bangun malam menjalankan
shalatul lail di masjid, ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih, ia
berkata : "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara berjamaah
tidak dibid’ahkan", keterangan ini dicuplik oleh Harbu Al Karmaniy.
2- Berkumpulnya manusia pada malam Nisfi Sya’ban di masjid untuk shalat,
bercerita dan berdoa adalah makruh hukumnya, tetapi boleh dilakukan
jika menjalankan sholat khusus untuk dirinya sendiri.
Ini pendapat Auza’iy, Imam ahli Syam, sebagai ahli fiqh dan ulama
mereka, Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkan
pendapat Imam Ahmad tentang malam Nisfu Sya’ban ini, tidak diketahui.
Ada dua riwayat yang menjadi sebab cenderung diperingatinya malam
Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua
malam hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), dalam satu riwayat
berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah
adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, riwayat
yang lain berpendapat bahwa memperingati malam tersebut dengan berjamaah
disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah
mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in. Begitu pula tentang malam nisfu
sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk
juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fiqh
(yuris prudensi) yang di Syam (syiria), demikian maksud dari Al Hafidz
Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam
Nisfi Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat. Adapun
pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat
pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab
dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dloif, karena segala perbuatan
syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh
bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-adakan dalam Islam, baik
itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan
secara sembunyi sembunyi ataupun terang terangan, landasannya adalah
keumuman hadits Nabi :
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dan banyak lagi hadits hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar At Thorthusyi berkata dalam bukunya “Al Hawadits wal
bida” : diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami
belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang
menghadiri perayaan malam nisfu sya’ban, tidak mengindahkan hadits
Makhul yang dloif, dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam
tersebut terhadap malam malam lainya.
Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An numairy berkata
: "Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai
pahala lailatul qadar, Ibnu Abi Mulaikah menjawab : "Seandainya saya
mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul, Zaid
adalah seorang penceramah".
Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al Fawaidul Majmuah” sebagai berikut : bahwa hadits yang mengatakan :
“Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban
sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul
huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala
kebutuhannya … dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang
pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan
kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak
dikenal), hadits ini diriwayatkan dari kedua dan ketiga jalur sanad,
kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya tidak diketahui.
Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan : hadits yang
menerangkan tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu : jika
datang malam Nisfu Sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang
harinya, adalah dloif.
Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa : "Seratus rakaat pada malam
Nisfi sya’ban (dengan membaca surah) Al ikhlas sepuluh kali (pada setiap
rakaat) bersama keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad
Dailami dan lainya bahwa itu semua maudlu’ (palsu), dan mayoritas
perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul (tidak diketahui) dan dloif
(lemah).
Imam As Syaukani berkata : Hadits yang menerangkan bahwa dua belas
rakaat dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali itu maudlu’
(palsu), dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudlu’
(tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para fuqoha (ahli yurisprudensi) banyak yang tertipu dengan hadits
hadits diatas, seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga
sebagian dari para ahli tafsir, karena sholat pada malam ini, yakni
malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad,
semuanya adalah bathil / tidak benar dan haditsnya adalah maudlu’.
Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah,
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan
turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa
sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita
berkisar tentang sholat yang diadakan pada malam Nisfu Sya’ban itu,
tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’ (tidak bersambung)
sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai malam
Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu
juga lemah dasar hukumnya.
Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits (yang menerangkan) tentang sholat
Nisfi Sya’ban itu maudlu dan pembohongan atas diri Rasulallah”.
Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi berkata : sholat yang sering kita
kenal dengan sholat Roghoib ada (berjumlah) dua dua belas rakaat,
dikerjakan antara maghrib dan Isya’, pada malam Jum’at pertama bulan
Rajab, dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban, dua sholat
ini adalah bid’ah dan munkar, tidak boleh seseorang terpedaya oleh kedua
hadits itu, hanya karena disebutkan di dalam buku “Quutul qulub” dan “
Ihya Ulumuddin” (Al Ghozali, red) sebab pada dasarnya hadits hadits
tersebut bathil (tidak boleh diamalkan), kita tidak boleh cepat
mempercayai orang orang yang tidak jelas bagi mereka hukum kedua hadits
itu, yaitu mereka para imam yang kemudian mengarang lembaran-lembaran
untuk membolehkan pengamalan kedua hadits itu, karena ia telah salah
dalam hal ini.
Syekh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah
mengarang sebuah buku yang berharga, beliau menolak (menganggap bathil)
kedua hadits diatas (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at
pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya)
dalam buku tersebut, sebaik mungkin, dalam hal ini telah banyak
pendapat para ulama, jika kita hendak menukil pendapat mereka itu, akan
memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan
tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat
sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al Qur’an dan
beberapa hadits, serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari
kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan
sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa, itu
semua adalah bid’ah dan munkar, tidak ada landasan dalilnya dalam
syariat Islam, bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam
setelah masa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, marilah kita hayati ayat
Al Qur’an di bawah ini :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama
bagimu” (QS. Al Maidah, 3).
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas,
selanjutnya marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak”.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam
malam lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian
mengkhususkan siang harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa
tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa
berpuasa (bukan puasa khusus tadi)” (HR. Muslim).
Seandainya pengkhususan malam itu dengan ibadah tertentu
diperbolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik dari
pada malam malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari
yang disinari oleh matahari ? hal ini berdasarkan hadits hadits
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk
mengkhususkan sholat pada malam hari itu dari pada malam lainnya, hal
itu menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh dihususkan
dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang
mengkhususkan/menunjukkan adanya pengkhususan, ketika malam Lailatul
Qadar dan malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan
bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan
menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga
mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih :
“Barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada bulan Ramadlan dengan
penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah Subhaanahu wa
Ta’ala akan mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang
berdiri (melakukan sholat) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa
iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya
yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alaih).
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan
Rajab, serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dikhususkan,
dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, atau beliau
melaksanakannya sendiri, jika memang hal itu pernah terjadi niscaya
telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita ; mereka tidak akan
menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan paling
banyak memberi nasehat setelah para Nabi.
Dari pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya
tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat
tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada
bulan Rajab.
Dan dari sini kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam
tersebut adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam, begitu pula
pengkhususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah
mungkar, sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang
sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dihususkan
dengan ibadah ibadah tertentu, selain tidak boleh dirayakan dengan
upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi.
Hal ini, jika (malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu) diketahui,
padahal yang benar adalah pendapat para ulama yang menandaskan tidak
diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa
malam Isra’ dan Mi’raj itu pada tanggal 27 Rajab adalah bathil, tidak
berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih, maka benar orang yang
mengatakan :
“Sebaik-baik perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para Salaf, yang
telah mendapatkan petunjuk dan sejelek-jelek perkara (dalam agama)
adalah yang diada adakan berupa bid’ah bid’ah”
Allahlah tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan
kaum muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah dan
konsisten kepada ajarannya, serta waspada terhadap hal-hal yang
bertentangan dengannya, karena hanya Allah lah Maha Pemberi dan Maha
Mulia.
Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada hamba-Nya dan
RasulNya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada
keluarga dan para sahabatnya, Amien.
(Dikutip dari ÇáÍÐÑ ãä ÇáÈÏÚ Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz
Bin Baz, Mufti Saudi Arabia dalam Majmu’ Fatawa Samahat al-Shaykh
‘Abdul-‘Aziz ibn Baz, 2/882. Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia.
Edisi Indonesia “Waspada terhadap Bid’ah”.). Posting ulang dari
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=472)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar