Sabtu, 20 April 2013
KEYAKINAN KARTINI
Keyakinan Kartini dalam Sorotan
Adityanugroho – Sabtu, 9 Jumadil Akhir 1434 H / 20
April 2013 10:00 WIB
Oleh: Artawijaya*
Ketika penulis melansir beberapa tulisan terkait Raden
Ajeng Kartini, beberapa pembaca banyak mengajukan
pertanyaan, bahkan sanggahan. Kebanyakan dari
tanggapan itu menganggap penulis terlalu tendensius
dalam memandang sosok Kartini, terlalu terbuai teori
konspirasi, dan mempunyai motif tertentu dalam
mengeritik sosok pahlawan nasional tersebut. Atas
pertanyaan dan sanggahan tersebut, penulis nyatakan
bahwa apa yang penulis lakukan adalah upaya untuk
menuliskan sejarah secara jujur, sejarah yang berangkat
dari fakta-fakta yang ada, bukan sejarah yang ditulis
oleh tinta penguasa. Jika pun ada motif tertentu, maka
penulis harus akui bahwa motif itu adalah upaya untuk
membongkar selubung “de-islamisasi fakta sejarah”
yang selama ini terjadi dalam sejarah nasional kita. De-
islamisasi yang dimaksud adalah upaya memarjinalkan
peran umat Islam dalam sejarah pergerakan nasional di
negeri ini.
Penulis hanya memaparkan sisi lain Kartini, yang
mungkin belum pernah ditulis dalam buku-buku sejarah
( text book) yang diajarkan di sekolah-sekolah kita. Jika
sejarah nasional selama ini menulis kiprah Kartini
sebagai ikon kemajuan perempuan Indonesia yang
tercermin dalam surat-suratnya, maka penulis berusaha
menguak sisi lain tentang Kartini secara personal,
diantaranya pandangan keagamannya, latarbelakang
pemikirannya, dan siapa saja orang yang berinteraksi
secara intim dengannya. Setelah itu, silakan pembaca
sekalian menimbang dengan jernih tentang apa yang
sesungguhnya terjadi dalam penulisan sejarah nasional
negeri ini.
Penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai sosok yang
anti-Islam. Bahkan penulis tak pernah menyebut Kartini
sebagai anggota Theosofi, sebuah aliran kebatinan
Yahudi yang pada era 1900-an di Jawa begitu pesat
berkembang. Penulis hanya menyatakan, isi surat-surat
Kartini kepada para sahabatnya yang kebanyakan elit-elit
Belanda, sangat kental dengan pemikiran dan paham
Theosofi. Diantaranya paham tentang pluralisme agama,
paham tentang Tuhan, dan tentang amal manusia.
Kumpulan surat menyurat Kartini diterbitkan oleh Kartini
Fonds pada 1911 di negeri Belanda, sementara Kartini
meninggal pada 1904.
Jika ada yang mengatakan bahwa kumpulan surat
menyurat Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah
Terang” karena Kartini terinspirasi dari ayat Al-Qur’an
yang berbunyi “Minazhzhulumaati ilaannur” , maka
sesungguhnya judul itu bukanlah dari Kartini, melainkan
judul yang dibuat oleh Armijn Pane, sastrawan yang juga
anggota Theosofi. Sementara judul berbahasa Belanda
“Door Duisternis tot Licht” yang diartikan oleh Armijn
Pane dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah judul
yang diberikan oleh Abendanon. Abendanon sendiri
mengaku mengambil judul itu dari sebuah syair yang
dikutip oleh Kartini dari seorang wanita tua, yang
berbunyi,
“Habis malam terbitlah terang
Habis badai datanglah damai
Habis juang sampailah menang
Habis duka tibalah suka..”
(Surat kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902)
Apakah ada pernyataan dari Kartini bahwa istilah “Habis
Gelap Terbitlah Terang” berasal dari ayat Al-Qur’an?
Pada kenyataannya, istilah “habis gelap menuju terang”
juga digunakan oleh kelompok Freemason ketika
membaiat anggota barunya, dengan mengatakan, “Kalian
berada dalam zhulumat (kegelapan), sekarang kami
bawa ke dalam cahaya.” dan pada masa lalu, kelompok
rahasia Illuminati di Hindia Belanda juga disebut sebagai
“Kelompok Cahaya” (Lihat, A.D El Marzededeq, Jaringan
Gelap Freemasonry dan Perkembangannya sampai ke
Indonesia , Bandung: Syamil, 2007 dan Freemasonry
Yahudi Melanda Dunia Islam , Bandung:Gema Syahidah,
1993)
Ada yang menyebut pandangan keagamaan Kartini sudah
berubah, dari kebatinan-sinkretis ala Theosofi kepada
keyakinan Islam yang sesungguhnya karena
pertemuannya dengan Kiai Soleh Darat di Demak.
Meskipun tak ada keterangan pasti mengenai seberapa
intim interaksi Kartini dengan Kiai Soleh Darat. Namun
yang pasti, Kartini mengaku bertemu Kiai Soleh Darat
pada 1903, dan pada tahun yang sama kiai tersebut
meninggal dunia. Kartini sendiri meninggal dunia setahun
kemudian, pada 1904. Fakta lain, meskipun sudah
berinteraksi dengan Kiai Soleh Darat, namun tak ada
dokumen yang menunjukkan bahwa Kartini mengoreksi
pemahamannya selama ini tentang agama, Tuhan, dan
kemanusiaan.
Jika ada yang mengatakan Kartini sangat menolak
Kristenisasi, maka penulis berpendapat, penolakan itu
semata-mata karena cara yang digunakan misionaris
tersebut, dan penolakan itu juga berdasarkan
pemahaman Kartini bahwa agama apapun tak boleh
mendominasi keyakinan seseorang, karena agama
manapun pada hakekatnya sama, selama menebarkan
kebajikan. Ini tercermin dalam suratnya kepada E.C
Abendanon, 31 Januari 1903, “Kalau orang mau juga
mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah
kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak
Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen
maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.”
Juga surat kepada misionaris Dr N Adriani, 5 Juli 1903
yang berbunyi, “Tidak peduli agama apa yang dipeluk
orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap
mulia juga dan orang budiman akan budiman juga.
Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam
tengah-tengah segala bangsa” . Pada surat-surat lainnya,
Kartini mengatakan bahwa agama yang sesungguhnya
adalah kebatinan dan kasih sayang. Keyakinan seperti ini
sama persis dengan apa yang menjadi dasar keyakinan
Theosofi, bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi
daripada kebenaran atau kebajikan ( There’s No Religion
Higher than Truth). Dan, sekali lagi, di akhir hayatnya tak
ada keterangan yang menunjukkan bahwa Kartini
mengoreksi keyakinannya tersebut.
Sebagai sesama Muslim, tentu kita berharap Kartini
meninggal dalam keadaan sempurna keislamannya dan
membuang jauh-jauh keyakinan yang menyimpang soal
keagamaannya. Namun, karena ia merupakan sosok
pahlawan nasional milik bangsa ini, maka sudah
seharusnya masyarakat tahu secara lebih mendalam
tentang siapa Kartini sesungguhnya, bagaimana
pemikiran dan keyakinannya, dan lain-lain. Jika penulis
menduga ada campur tangan kolonialis dalam upaya
memunculkan sosok Kartini sebagai ikon kemajuan
perempuan Indonesia, hal ini tak berlebihan, mengingat
elit-elit Belanda lah yang pertama kali memunculkan
sosok Kartini dan mendirikan lembaga Kartini Fond di
Belanda pada 1911 yang bekerja memasarkan gagasan-
gagasan Kartini. Upaya kolonialis untuk menonjolkan
sosok Kartini juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa
Politik Etis dan Politik Asosiasi yang dilakukan Belanda
berhasil mendidik pribumi menjadi sosok yang terdidik,
modern, dan berpikiran maju sesuai dengan cita-cita
humanisme.
Surat Kabar Nieuw van den Bag , pada 1914, memuat
komentar pembaca yang mempertanyakan sikap elit-elit
Belanda yang begitu getol memperkenalkan sosok
Kartini. Surat tersebut menyatakan, ”Kalau Kartini
berjuang buat bangsanya, mengapa kita (Belanda) yang
mesti ribut-ribut memperkenalkannya kepada
masyarakat? Mengapa mesti kita juga yang keluarkan
duit buat biayai sekolah-sekolah Kartini? Biarlah mereka
usahakan dan kerjakan sendiri!”
Agama Kartini dalam Sorotan
Seperti penulis paparkan pada tulisan sebelumnya yang
berjudul “Kartini dan Para Yahudi Belanda” , kebanyakan
dari sahabat-sahabat Kartini adalah orang-orang Yahudi
Belanda penganut paham sosialisme-humanisme.
Interaksi Kartini yang berlangsung lewat surat menyurat
dan kiriman-kiriman buku berlangsung secara intens.
Diantara buku yang pernah dibaca Kartini dari
sahabatnya adalah buku berjudul “Droomen van het
Ghetto” (Impian dari Ghetto). Buku karya Zangwil ini
berisi tentang keadaan sosial yang sangat buruk, yang
dialami oleh orang-orang Yahudi di perkampungan-
perkampungan Yahudi di Inggris.
Kartini juga melahap habis buku-buku karya perempuan
aktivis feminis-sosialis, seperti Goekoop de Jong,
Cornelie Lydie Huygens, Marcel Prevost, Helena Mercier,
dan lain-lain. Menurut keterangan, buku-buku inilah yang
menjadi sumber inspirasi perjuangan emansipasi
perempuan yang disuarakan Kartini. Sahabat Kartini,
Stella Haarshalts Zeehandelaar, adalah perempuan
Yahudi aktivis feminis-sosialis yang cukup radikal.
Dalam biografi berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”
Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok Stella
berikut ini:
”Estella Zeehandelaar adalah seorang gadis Yahudi
Belanda dengan pandangan hidup sosialis yang berapi-
api. Ia tidak menyetujui kalau Kartini masuk ke dalam
dunia keagamaan. Stella mempengaruhi Kartini dalam
pandangan hidup, bahwa kebajikan bukanlah barang
monopoli kaum agama, karena orang pun –dan terutama
sekali—dapat lakukan kebajikan karena perasaan
tanggungjawab kepada sesama, karena nuraninya
sendiri.” ( Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini
Saja , Lentera Dipantara, 2010, Cet.Kelima, hal. 212)
Pramoedya alias Pram sendiri menilai Kartini sebagai
sosok humanis, yang meyakini bahwa tugas manusia
adalah menjadi manusia. Bagi Kartini, kata Pram, semua
agama sama. Pandangan ini adalah wujud dari daya
sinkretik yang tertanam pada jiwa Kartini yang menilai
manusia pada amalnya, pada sesamannya, pada
kemanusiaan, bukan pada agamanya. Kartini, tegas
Pram, adalah seorang humanis yang melihat segala
sesuatu dari sisi kepentingan kemanusiaan.”Humanis
memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin manusia
itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya,” jelas
Pram yang dikenal sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), sebuah lembaga underbouw Partai
Komunis Indonesia.
Penilaian Pram tentu bukan tanpa alasan. Paham
humanisme begitu kental dalam surat Kartini kepada E.C
Abendanon, 15 Agustus 1902. Kartini menulis, “Tuhan
kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah
nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah
yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan,
nurani kamilah yang memberi kurnia.” Tulisan Kartini
jelas mengacu pada keyakinan bahwa tak ada hukum
Tuhan, yang ada adalah “kodrat alam”. Sebuah
keyakinan yang pada masa lalu begitu mengakar dan
menjadi keyakinan dari organisasi-organisasi bercorak
Jawanisme-Kebatinan, seperti Taman Siswa, Tri Koro
Dharmo, dan Boedi Oetomo.
Apa yang menjadi dasar keyakinan Kartini, sesungguhnya
adalah landasan inti dari paham humanisme, yang tak
lain merupakan doktrin tertinggi dari Theosofi dan
Freemason. Pramoedya kembali menuturkan tentang
sosok Kartini:
“Ia adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada
bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat. Jadi ia
termasuk golongan Javanis Jawa, atau golongan
kebatinan, dimana Tuhan dipahami sebagai sumber
hidup, yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tak
peduli apapun agama yang dianutnya, bahkan juga bagi
si atheis sekalipun….ia (Kartini, red) dapat menerima
agama apapun, dan ia tidak dapat menerima
pemutarbalikkan atas agama apapun. (Hal: 260-261).
Sebagai catatan, Tuhan yang disebut sebagai sumber
hidup yang mengikat dalam keyakinan kebatinan Jawa,
termasuk dalam pemahaman Theosofi adalah Tuhan
yang menyatu, manunggal dengan sang hamba
( manunggaling kawula gusti ). Paham ini berkeyakinan,
inti hidup seseorang adalah berbuat kebaikan, sebagai
wujud dari implementasi sifat Ketuhanan yang menyatu
( imanen ) dengan sang makhluk. Mereka menyebutnya
sebagai pancaran ilahi, pletik Tuhan, dan dalam bahasa
Inggris disebut dengan “ god in being ”. Karena itu, aliran
kebatinan-Theosofi berkeyakinan, agama apapun, selama
menebarkan kebajikan, maka pada hakekatnya sama.
Raden Mas Notosoeroto dalam “ De Gedachten van R. A
Kartini als Richtsnoer voor de Indische Vereeniging”
sebagaimana dikutip Pram dalam biografi Kartini,
menulis:
“Perasaan keagamaan Kartini nampak pada keteguhan
imannya, dalam mana ia terdidik. Tetapi suatu keteguhan
yang berbarengan dengan pengertian yang lembut,
dimana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi
kebajikan agama-agama lain. Penghargaan ini
menyebabkan kalbunya tidak membeku dalam dogma-
dogma kaku, tetapi menyebabkan ia menjadi lebih kaya
dan membuat ia mengerti Quintessence atau inti setiap
religi: Kebajikan dan cinta sesama. Dari bagian
kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal garis-garis
watak Kartini, yang menyebabkan ia menjadi permata
toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan
terhadap kebajikan yang juga berasal dari orang-orang
lain…” (hal.263)
Mr. Conrad Theodore van Daventer, tokoh Politik Etis
yang juga penggagas Kartini Fonds, menulis tentang apa
sesungguhnya Tuhannya Kartini. Daventer menulis dalam
Majalah De Gids, September 1911, berikut ini:
“Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini, ya,
dialah yang Tertinggi tanpa batas, yang menyebabkan
orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi, bersaudara satu
dengan yang lain, yang menyebabkan juga orang-orang
Brahma, bahkan juga orang kafir dijiwai dan bahwa
kebajikan dan cinta merupakan ketentuan-ketentuan yang
terutama.Kepercayaan kepada Tuhan itulah yang
terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi.
Sebagai seorang yang terdiri secara Islam, ia (Kartini,
red) ingin tetap menjadi Islam, sekalipun ia tidak buta
terhadap beberapa kelemahan ajaran itu, karena bentuk
kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah soal
kedua, dan setiap bentuk itupun punya kelemahan
sendiri…” (hal. 263-264).
Van Daventer ingin menggambarkan bahwa yang
terpenting adalah aspek Ketuhanan Yang Satu antara
setiap agama, yang disebut dengan aspek batin
( esoteris ), sedankan soal ibadah lahir ( eksoteris )
hanyalah tradisi yang berbeda-beda antar setiap agama.
Keyakinan ini juga sama persis dengan apa yang ditulis
oleh Kartini dalam surat tertanggal 31 Januari 1903,
yang berbunyi, “Agama yang sesungguhnya adalah
kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk sebagai Nasrani,
maupun Islam, dan lain-lain…”
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya
berjudul “ Agama Kartini ” menyimpulkan bahwa tak
penting apa agama Kartini, yang penting adalah gagasan
dan ide dia tentang emansipasi. Pendapat ini tentu
janggal, karena agama dan keyakinan seseorang jika
benar-benar dihayati dan diamalkan sangat
mempengaruhi pemikiran, perilaku, gagasan-gagasan,
dan lain sebagainya. Karena itu, sangat penting
mengungkap lebih dalam tentang agama dan keyakinan
serta orang-orang yang berada di sekeliling Kartini,
karena dari latarbelakang itulah gagasan-gagasannya
muncul dan disebarluaskan.
Josephine Hartseen, sahabat masa remaja Kartini, seperti
keterangan yang ditulis oleh Pramoedya, adalah orang
yang mengajarkan kepada Kartini ajaran-ajaran tentang
Theosofi dan spiritisme. Joshepine, menurut keterangan
Pram adalah anggota Theosofi. Sebagaimana juga
keterangan Ridwan Saidi dalam Fakta dan Data Yahudi di
Indonesia , yang menyebut Josephine sebagai orang
Yahudi yang diplot untuk mendekati Kartini. Sementara
H.H van Kol, elit kolonial yang dalam keterangannya
disebut sebagai orang yang mengajarkan ilmu okultisme
pada Kartini, adalah sosok yang mendapat rekomendasi
dari Stella Zeehandelaar untuk mendekati Kartini.
Jadi, tentu ada kaitan antara agama dan latarbelakang
Kartini dengan gagasan-gagasanya selama ini, terutama
tentang emansipasi. Namun sayang, gagasan-
gagasannya soal agama, Tuhan, dan kemanusiaan, tak
pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Seolah, tak penting apa agama dan keyakinannya, yang
penting pemikirannya soal emansipasi. Rakyat Indonesia
dipaksa mengidolakan seseorang tanpa perlu mengetahui
bagaimana kepribadian dan latarbelakang orang
tersebut. Tulisan ini membuka ruang bagi siapapun untuk
menyanggah dan menghadirkan data-data dan fakta lain
tentang sosok Kartinin. Tujuannya, agar sejarah tak lagi
samar oleh kabut kekuasaan!
Penulis bersedia rujuk, jika ada data dan fakta lain yang
bisa dipertanggungjawabkan terkait keyakinan Kartini
soal agama, Tuhan, dan kemanusiaan. Hal yang perlu
dicatat, penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai
sosok yang anti-Islam, namun penulis dengan tegas
menyebut Kartini sebagai sosok yang pemikirannya
berseberangan jauh dengan akidah Islam sebagaimana
tercermin dalam surat-suratnya. Mengapa penulis
menganggap penting untuk mengetahui apa
sesungguhnya latarbelakang keyakinan Kartini? Karena
Kartini adalah sosok yang dijadikan pahlawan dan
pejuang perempuan negeri ini. Sosok yang dijadikan
panutan, tentu harus benar-benar jelas tentang apa
keyakinan dan latarbelakang kehidupannya.
Adapun mengenai keterangan bahwa di akhir hayat
Kartini kembali dalam pangkuan Islam yang
sesungguhnya, penulis ingin meminta bukti, adakah di
akhir hayatnya Kartini mengoreksi pemahamannya yang
sangat kental dengan keyakinan kebatinan-Theosofi?
Adakah keterangan yang menyebutkan bahwa Kartini tak
lagi menganggap semua agama sama, Tuhan kita sama
dengan tuhan agama lain, neraka dan surga tidak ada,
agama yang sesungguhnya adalah kebajikan? Keyakinan
inilah yang sungguh berseberangan jauh dengan akidah
Islam!
*Penulis buku Jaringan Yahudi Internasional di
Nusantara dan Gerakan Theosofi di Indonesia,
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar