JAKARTA (voa-islam.com) - Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang kemarin menyeberang ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat yang menghubungkan Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang akhir Orde Baru karena terbukti terbukanya niat Benny menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina dan orang Kristen.
Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang tidak terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang akan saya bongkar di bawah ini.
"Bersama Presiden Soeharto, Benny adalah Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh demonstrasi 1966 dengan dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris] pada malam itu para pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Suryadi [Ketua PDI yang menyerang Kubu Pro Mega tanggal 27 Juli 1996]; Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan sejumlah tokoh. Topik pembicaraan, situasi politik waktu itu...
Moerdani berbicara mengenai Soeharto yang menurut Menhankam itu, 'Sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti'...Benny kemudian berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, 'Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.' "
- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, serangkaian kesaksian, Penerbit Mizan, halaman 316
A. Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia
Selanjutnya bila kita hubungkan kesaksian Salim Said di atas dengan kesaksian RO Tambunan bahwa dua hari sebelum kejadian Megawati sudah mengetahui dari Benny akan terjadi serangan terhadap kantor PDI dan Catatan Rachmawati Soekarnoputri, Membongkar Hubungan Mega dan Orba sebagaimana dimuat Harian Rakyat Merdeka Rabu, 31 Juli 2002 dan Kamis, 1 Agustus 2002.
Maka kita menemukan bukti adanya persekongkolan antara Benny Moerdani yang sakit hati kepada Soeharto karena dicopot dari Pangab (kemudian menjadi menhankam, jabatan tanpa fungsi) dan Megawati untuk menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto, kebetulan saat itu hanya Megawati yang mau jadi boneka Benny Moerdani. Sedikit kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:
"Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka?
Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak."
Dari ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Benny Moerdani; Megawati Soekarnoputri; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah "eureka moment" yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet untuk regenerasi kepemimpinan Indonesia dan diganti Megawati, sehingga menimbulkan kecurigaan dari pihak Mabes ABRI.
Dr. Soerjadi adalah orang yang menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di Kongres Medan (kongres dibiayai Sofjan Wanandi dari CSIS) yang mengumpulkan massa menyerbu kantor PDI dan selama ini dianggap perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda bawahan Benny Moerdani, dan tentu saja saat itu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, dua murid Benny Moerdani berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana disaksikan Jusuf Wanandi dari CSIS dalam Memoirnya, A Shades of Grey/Membuka Tabir Orde Baru.
Semua fakta ini juga membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang mana menyebutkan rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi yang membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik serta bukan dokumen buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana diklaim oleh Budiman Sejatmiko selama ini.
Ini menjelaskan mengapa Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit kepada anak buahnya seperti "siapa suruh kalian mau ikut saya?" dan justru memberi jabatan sangat tinggi kepada masing-masing SBY yang memimpin rapat penyerbuan Operasi Naga Merah; Sutiyoso yang komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; Agum Gumelar dan Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Megawati melakukan bunuh diri bila menyelidiki kejahatannya sendiri!
Bila dihubungkan dengan grup yang berkumpul di sisi Jokowi maka sudah jelas bahwa CSIS; PDIP; Budiman Sejatmiko, Agum Gumelar; Hendropriyono; Fahmi Idris; Megawati; Sutiyoso ada di pihak Poros JK mendukung Jokowi-JK demi menghalangi upaya Prabowo naik ke kursi presiden.
B. Kerusuhan Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri ke Kursi Presiden.
Pernahkah anda mendengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Ini fakta dan bukan bualan. Banyak buku sejarah yang sudah membahas hal ini, dan salah satunya cerita dari Kopassus di masa kepanglimaan Benny.
Saat Benny menginspeksi ruang kerja perwira bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya "Apa ini?", jawab sang perwira, "Sajadah untuk shalat, Komandan." Benny membentak "TNI tidak mengenal ini." Benny juga sering mengadakan rapat staf pada saat menjelang ibadah Jumat, sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat Jumat.
Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam.
Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa para perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering menghadiri pengajian diperlakukan diskriminatif dan tidak akan mendapat kesempatan sekolah karena sang perwira dianggap fanatik, sehingga sejak saat itu karir militernya suram.
Silakan perhatikan siapa para perwira tinggi beken yang diangkat dan menduduki pos penting pada masa Benny Moerdani menjadi Pangad atau Menhankam seperti Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; Rudolf Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Johny Lumintang; Albert Inkiriwang; Herman Mantiri; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei dan lain sebagainya akan terlihat sebuah pola tidak terbantahkan bahwa perwira yang diangkat pada masa Benny Moerdani berkuasa adalah non Islam atau Islam abangan (yang tidak dianggap "fanatik" atau berada dalam golongan "islam santri" menurut versi Benny).
Inilah yang dilawan Prabowo antara lain dengan membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani namun tidak berhasil. Tidak heran kelompok status quo dari kalangan perwira Benny Moerdani membenci Prabowo karena Prabowo yang menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia itu.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".
Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"
Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?
Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).
Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)
Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani namun kita memiliki cara membuktikan kebohongannya. Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut sudah disingkirkan Wiranto.
Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong. Namun bila kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat bahwa memang terjadi banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.
Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto. Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir dan menistakan Prabowo.
Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.
Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai marinir berinisiatif keluar kandang.
Selain itu tiga fakta yang menguatkan kesimpulan kelompok Benny Moerdani ada di belakang Kerusuhan Mei 98 adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).
2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).
Lagipula saat kejadian terbukti Benny Moerdani sedang rapat di Bogor dan ada laporan intelijen bahwa orang lapangan saat kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 98 dilatih di Bogor!!!
3. Alasan Megawati setuju menjadi alat Benny Moerdani padahal saat itu keluarga Soekarno sudah sepakat tidak terjun ke politik dan alasan Benny Moerdani begitu menyayangi Megawati mungkin adalah karena mereka sebenarnya pernah menjadi calon suami istri dan Soekarno sendiri pernah melamar Benny, pahlawan Palangan Irian Jaya itu untuk Megawati, namun kemudian Benny memilih Hartini wanita yang menjadi istrinya sampai Benny meninggal (Salim Said, halaman 329).
Berdasarkan semua fakta dan uraian di atas maka kiranya sudah tidak bisa dibantah bahwa alasan Kelompok Benny Moerdani, dalang Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 ada di belakang Jokowi-JK dengan mengorbankan keutuhan partai masing-masing (PDIP, Hanura, Golkar) untuk melawan Prabowo adalah dendam kesumat yang belum terpuaskan sebab Prabowo menjadi penghalang utama mereka ketika mencoba mendeislamisasi Indonesia. [hudzaifah/Berric Dondarrion/voa-islam.com]
Selasa, 10 Juni 2014
Jumat, 06 Juni 2014
Miliarder Aneh Ini Lebih Memilih Hidup Miskin
Kalau beberapa orang berusaha sekuat tenaga untuk kerja keras guna mengumpulkan uang agar jadi kaya raya. Tapi, ada yang unik dari kehidupan seorang miliarder terkaya di dunia, dia malah bekerja keras mengumpulkan uang untuk hidup miskin.
Dia adalah Sulaiman Al Rajhi, salah satu orang paling kaya di dunia yang memilih menyumbangkan seluruh hartanya termasuk uang tunai, saham dan propertinya.
Sulaiman Al Rajhi tercatat sebagai salah satu orang terkaya di dunia dan sukses mencetak uang hingga USD6 miliar atau Rp73,16 triliun (dengan hitungan kurs: Rp12.193 per USD) dari industri perbankan yang dipimpinnya. Di usianya yang ke-93 tahun, dia merasa harta dan kekayaan bukanlah hal yang penting.
Padahal, dia pernah jatuh miskin sebanyak dua kali dalam hidupnya. Uniknya, sekarang saat dia telah memiliki semua yang dikejarnya, Al Rajhi melepaskan semua hartanya begitu saja.
Sulaiman Al Rajhi mengakui, saat dia melarat dahulu kondisinya jauh berbeda dengan kehidupan miskin sekarang ini yang dia pilih. Sekarang, Sulaiman Al Rajhi, merasa hidupnya saat ini lebih merasa bahagia, tenang dan damai. Bagi pria yang hanya lulus Sekolah Dasar (SD) ini, seluruh kekayaan yang dimiliki manusia hanyalah titipan Tuhan semata.
Lalu, yang menjadi pertanyaan kita semua yaitu, kenapa Sulaiman Al Rajhi rela melepas semua hartanya, malah memilih hidup miskin? Berikut ini kisah hidup unik Sulaiman Al Rajhi yang dikutip dari Al Rajhi Bank, Forbes, Arab News serta sejumlah sumber lainnya.
Sulaiman Al Rajhi di Masa Muda
miliarder ini bernama lengkap Sulaiman Abdul Aziz Al Rajhi, lahir di Jeddah, pada tahun 1920. Sulaiman tidak lahir dari keluarga yang kaya raya, sehingga dia hanya mampu menamatkan sekolah sampai Sekolah Dasar (SD) saja.
Karena kondisi itulah membuat dia dan dua saudara laki-lakinya bekerja keras untuk menghasilkan uang. Yang kemudian mereka berhasil mendirikan bank syariah terbesar di dunia yaitu Al Rajhi Bank.
Dari industri perbankan dan sejumlah perusahaan yang didirikannya, Al Rajhi juga aktif berinvestasi di bursa saham Arab Saudi. Dia berhasil meyakinkan perbankan di wilayah Eropa dan Amerika untuk ikut bekerja sama di bidang perbankan syariah dan terus berhasil menambah jumlah kekayaannya.
Walaupun Kaya, Tapi Memilih Hidup Miskin
Sulaiman Al Rajhi merupakan miliarder yang terkenal pemurah dan sangat memegang teguh ajaran-ajaran Islam. Kemurahan hatinya membuat miliarder yang satu ini tampak sangat unik.
Uniknya, di saat para konglomerat lain berlomba-lomba menumpuk kekayaan, pria berusia 93 tahun ini justru melimpahkan seluruh harta kekayaan yang dia miliki pada anak-anaknya. Hingga saat ini, Al Rajhi tidak memiliki uang tunai, properti atau saham-saham yang biasa menghiasi kehidupannya.
Harta yang dia sisakan untuk hidupnya hanyalah pakaian yang sehari-hari dikenakannya. Semasa hidupnya dia pernah dua kali merasakan hidup melarat tanpa uang sedikitpun. Kondisi itu membuatnya sangat paham mengenai hal sekecil apapun tentang uang.
Berbeda dengan dulu, kemiskinan yang saat ini dialaminya justru disertai perasaan bahagia, tenang dan damai. Hidup miskin yang kini dijalaninya murni merupakan pilihan dan keputusannya sendiri.
Hanya satu alasan yang membuat Al Rajhi memutuskan untuk hidup miskin, sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, seluruh kekayaan di muka bumi ini adalah milik Allah semata. Bagi Al Rajhi, manusia yang dipercaya untuk menjaganya dan tidak pantas merasa memilikinya.
Sementara alasan membagi hartanya sebelum dia tutup usia adalah guna meningkatkan rasa persaudaraan dan kasih sayang antar anak-anaknya. Menurut dia, keharmonisan keluarganya jauh lebih penting dibandingkan harta dan kekayaan.
Sulaiman Al Rajhi
Selain itu, dia juga tak mau menghabiskan masa tuanya hanya untuk mencari uang. Dia ingin menikmati waktu yang sangat berharga dalam hidupnya untuk hal-hal yang lebih berguna. Dia juga dengan aktif membagi setiap uang yang mengalir ke kantongnya untuk masyarakat yang lebih membutuhkan.
Uniknya, miliarder yang satu ini bekerja sekuat tenaga untuk keluar dari kemiskinan dan setelah kaya raya justru memilih menyumbangkan semua hartanya dan kembali hidup tanpa uang.
Tidak banyak yang menyebutkan berapa jumlah istri Al Rajhi, yang jelas, pria lanjut usia ini tercatat memiliki 23 anak. Dia sangat mencintai seluruh anak-anaknya dan selalu mendorong semua keturunannya untuk bekerja keras.
Al Rajhi sangat yakin bahwa untuk menjadi kaya raya setiap orang harus berusaha sekuat tenaga. Alasan dia membagi hartanya pada seluruh anaknya agar keturunannya tidak tinggal diam dan bekerja mengelolanya.
Al Rajhi adalah tipe ayah yang tidak mau bekerja seumur hidup cuma untuk menghidupi anak-anaknya. Baginya, semua keturunannya harus berusaha untuk mengembangkan bisnis yang telah diwariskan supaya bisa terus bertahan hidup. Dan anak-anaknya merasa puas dengan keputusan sang ayah.
Tetap Kerja Keras di usia Tua
Sampai usia 80 tahunan, Al Rajhi masih sangat aktif bekerja seperti orang-orang usia muda. Al Rajhi mulai menjalankan tugasnya dari subuh hingga larut malam.
Semasa menjalani bisnisnya, dia tidak pernah memiliki pesawat pribadi dan selalu bepergian menggunakan kelas ekonomi. Menurut dia, Allah tidak menyukai umatnya yang angkuh dan bersikap secara berlebihan.
Uniknya, meski dia menumpang pesawat milik maskapainya sendiri, dia tetap mengeluarkan uang untuk membeli tiket layaknya penumpang lain. Tanpa pesawat pribadi sekalipun, lewat maskapainya dia tetap memiliki banyak pesawat komersial yang beroperasi atas namanya.
Bahkan semasa hidupnya, dia tak pernah keluar negeri dalam rangka berlibur. Al Rajhi lebih suka menikmati perjalanan melintasi gunung dibandingkan menikmati tempat wisata di tempat lain.
Al Rajhi adalah salah satu miliarder tertua di dunia. Di usianya yang ke-93 tahun, dia masih aktif mengurus lembaga amal yang didirikannya.
Meskipun sudah tua, Al Rajhi tak pernah berpangku tangan, dia selalu memfokuskan pikirannya pada yayasan amal miliknya, serta bepergian ke Riyadh, Qassim, Al-Jouf, dan Al-Laith untuk sekadar mengawasi jalannya badan amal yang dipimpinnya.
Semasa bergelut di dunia bisnis, dia memiliki peranan yang luar biasa dalam membangun bank syariah terbesar di dunia. Selain itu, dia juga terkenal sebagai konglomerat yang aktif memerangi kemiskinan hingga memperoleh penghargaan internasional bergengsi karena tindakannya tersebut.
Dia juga berhasil meyakinkan para pemimpin bank sentral dunia termasuk Bank of England, bahwa perbankan syariah mampu berperan sebagai penggerak perekonomian global.
Selasa, 03 Juni 2014
Indonesia, Illuminati, dan Masa Depan Kita (Bag 4)
Suharto tipe pemimpin yang sangat lihai. Banyak yang
mengatakan sosoknya licin bagai belut yang berenang di dalam genangan
oli. Dia memanfaatkan semua yang berada di sekelilingnya guna memperkuat
posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno, Suharto menggalang
kekuatan militer, teknokrat kapitalistis, dan ormas keagamaan—dalam hal
ini kebanyakan sayap Islam, dengan alibi untuk menghancurkan komunisme.
Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah merangkul
kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo
menjadi sesepuhnya, dan di era 1980-an muncul tokoh sentral
Islamophobia, murid Ali Moertopo, bernama Jenderal Leonardus Benny
Moerdhani.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para
pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan Suharto, dan digantikan
dengan Exploitation de L’homee par L’homee, eksploitasi yang dilakukan
elit negara terhadap rakyat kecil. Dan ironisnya, eksploitasi ini terus
dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari
ini.
Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM), rezim Orde Baru
di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri sebagai rezim
fasis-militeristis. M.C.Ricklefs, sejarawan Australia yang banyak
meneliti tentang sejarah politik di Indonesia, menyatakan jika penegakan
HAM-nya rezim Suharto jauh lebih buruk ketimbang penguasa jajahan
Belanda.
“Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu ketimbang
pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap
narapidana politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik,
administrasi, dan militer di tangan segelintir elit dalam pemerintahan
Suharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,”
demikian Ricklefs.
Selain tiranik, Suharto juga telah menyuburkan sifat korup
di dalam elit pemerintahan. Tidak main-main, salah satu tonggak
“kegilaan” korupsinya sampai membangkrutkan salah satu firma konstruksi
dan konsultan paling terhormat dan terbesar di AS, yakni Stone and
Webster Engineering Company (SWEC). Salah seorang anggota keluarga
Suharto meminta suap dengan terang-terangan kepada SWEC sebesar 150 juta
dollar AS. Kasus ini ditulis oleh Steve Bailey di dalam Boston Globe
edisi 15 Maret 2006 berjudul “The Bribe Memo dan Collapse of Stone and
Webster” (hal.E1).
Kasus-kasus korup di era Orde Baru, dan kolusinya dengan
dunia usaha, secara apik dipaparkan Yoshihara Kunio dalam “Kapitalisme
Semu Asia Tenggara” (LP3ES, 1990). Jika dianalogikan, Indonesia di era
kekuasaan Orde Baru merupakan sebuah peti harta karun, yang dikuasai
sepenuhnya oleh elit global (Washington), dan hanya sebagian kecil dari
isi harta karun itu yang dibagikan kepada para penjaganya sebagai upah,
yakni Suharto dan kelompoknya. Sedangkan pemilik aslinya yakni rakyat
Indonesia, hanya disuruh menjadi penonton pameran kekayaan dan ‘kemajuan
pembangunan’ yang terjadi di sekitarnya. Inilah Indonesia di era Orde
Baru.
Bila kita melihat apa yang terjadi di belakang kudeta
terhadap Presiden Soekarno, naiknya Jenderal Suharto, dan apa yang
dilakukannya setelah berkuasa, maka akan terlihat sekali jika ada
tangan-tangan yang sangat berpengaruh, didukung modal yang besar,
jaringan global yang sangat kuat, yang bermain di sana.
Secara garis besar bisa dirinci sebagai berikut :
Pertama. Indonesia yang dahulu dikenal sebagai Nusantara,
namanya sudah termasyhur sejak lama sebagai suatu kawasan yang sangat
kaya raya. Nusantara sejak zaman purba sudah dikenal sebagai tanah yang
menyimpan cadangan emas permata dalam jumlah yang teramat sangat banyak.
Bukan hanya emas permata, namun belakangan juga diketahui menyimpan
minyak bumi, timah, bauksit, gas alam, dan sebagainya. Tentu saja, hal
ini membuat bangsa-bangsa lain ingin menguasai kawasan yang dianggap
sebagai “Sekeping Tanah Surga yang ada di Bumi”.
Kedua. Dalam sejarahnya, elit kerajaan Mesir Kuno sudah
mengetahui keberadaan Nusantara dan bahkan telah mengadakan kontak
dagang dengan Barus. Tidak menutup kemungkinan jika mereka juga
melakukan perdagangan emas permata. Kontak dagang ini terus berlanjut
hingga kerajaan Mesir Kuno runtuh berganti dengan kerajaan-kerajaan
lain. Di zaman Raja Sulaiman, raja yang juga Nabiyullah ini, tatkala
membangun istananya yang teramat sangat megah, memerintahkan kepala
arsiteknya bernama Abu Hiram pergi ke Nusantara untuk mengambil emas
permata yang akan digunakan untuk mempercantik istananya.
Kita mengetahui jika pada kedua tonggak kerajaan ini—Mesir
Kuno dan sisa Kerajaan paska Sulaiman—bercokol satu kekuatan gelap di
mana setan dan iblis menjadi pemimpinnya, serta sihir menjadi ilmunya.
Kita menamakannya sekarang dengan sebutan Kabbalah.
Di zaman mesir Kuno, para tukang sihir yang berada di
belakang kekuasaan para Fir’aun merupakan para pendeta tertinggi
Kabbalah. Mereka inilah yang bertarung melawan Nabi Musa a.s. Penyihir
Kabbalis merupakan salah satu tonggak dari tiga tonggak penopang
Fir’aun.
Di zaman kerajaan Nabi Sulaiman a.s., para setan dan jin
di depan Sulaiman a.s. menunjukkan sikap tunduk, namun di dalam hati
mereka selalu penuh dengan iri, dengki, dan dendam. Sudah menjadi sifat
mereka untuk selalu demikian. Abu Hiram atau Hiram Abiff merupakan
pemimpin gerakan persaudaraan rahasia Kabbalis, sekaligus kepala arsitek
Haikal Sulaiman. Orang inilah yang menjejakkan kakinya ke
Swarnadwipa—seperti yang diperintahkan Sulaiman—untuk mengambil emas
permata.
Sebab itulah, kaum Kabbalis sudah mengetahui sejak zaman
purba jika tanah Nusantara menyimpan kekayaan emas permata dalam jumlah
yang sangat berlimpah. Nusantara telah dijadikan target kaum Kabbalis
sejak lama. Dan sejarah telah memperlihatkan kepada kita jika Nusantara
sejak dulu hingga kini memang menjadi target mereka.
Sejarah Kaum Kabbalis dan Nusantara
Kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab suci langit lainnya,
semuanya telah mengisahkan fragmen penciptaan manusia dan mengapa Allah
swt memerintahkan agar manusia turun dari surga ke bumi. Turunnya
manusia ke bumi diikuti oleh iblis yang mendapatkan izin dari Allah
untuk menggoda manusia dari jalan ketauhidan sampai dengan akhir zaman.
Sejarah juga telah memperlihatkan kepada kita bagaimana
kebaikan dan kejahatan bertarung sepanjang kisah dunia. Para Nabi dan
Rasul yang diutus Allah swt untuk menuntun manusia agar bisa hidup di
jalan tauhid, selalu saja mendapat tentangan dan perlawanan dari
barisannya Iblis yang sangat bernafsu agar manusia keluar dari jalan
yang lurus itu.
Tipikal barisan iblis sepanjang sejarah selalu saja
mengambil posisi berdekatan dengan lingkaran dalam kekuasaan. Iblis
selalu berada di lingkaran elit penguasa. Tidak pernah sekali pun
barisan iblis mengambil posisi di luar kekuasaan. Ini fakta dari zaman
purba hingga sekarang. Dan kebalikannya, para Nabi dan Rasul nyaris
selalu berada di sisi umat kebanyakan melawan penguasa lalim.
Dalam aksinya, kelompok iblis senantiasa menggunakan sihir
sebagai senjatanya. Dan berbagai kumpulan sihir yang ada, disatukan ke
dalam apa yang disebut sebagai Kabbalah, dengan sihir Babylonia sebagai
induknya. Sebab itulah, barisan iblis dikemudian hari juga dikenal
sebagai kaum Kabbalah.
Bagi yang ingin mengetahui sejarah mengenai asal muasal
Kaum Kabbalah dan kaitannya dengan dunia kekinian, silakan membaca
Eramuslim Digest edisi “Genesis of Zionism”. Di dalamnya, kita akan
mendapatkan gambaran yang sangat jelas tentang hal ini.
Indonesia, Illuminati, dan Masa Depan Kita (3)
Pertemuan antara Mafia Berkeley-nya Suharto dengan para
CEO Yahudi di Jenewa, Swiss, Nopember 1967, menghasilkan keputusan yang
di luar akal sehat. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat
(Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris),
dengan pembagian laba untuk asing 99% dan Indonesia cuma 1%.
Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa
Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan
hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai
Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi
Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr.
Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo,
Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius
Prawiro, yang seluruhnya berorientasi kapitalistis.
Orde Baru, Ciptaan Elit Yahudi
“Indonesia Baru” yang pro-kapitalisme telah dirancang elit
dunia sejak era 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer
berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya
Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts,
1970) memaparkan, AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan
Indonesia setelah menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu
kelompok intelektual yang berpikiran Barat.
Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang
siap melayani kepentingan AS. Yang pertama didalangi berbagai yayasan
beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga
berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan
juga MIT. Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya
bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati
sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil
direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel
Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah,
demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid
dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi
kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama
antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 , kelompok ini
mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat
binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan
kelompok ini.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan
bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan
politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru
itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke
pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”
Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program
ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh
AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi,
AID mendatangkan David Cole—ekonom Harvard yang baru saja membuat
regulasi perbankan di Korea Selatan—untuk membantu Widjojo. Sadli juga
sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut
seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana
seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus
mendapatkan banyak “Bimbingan” dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh para
ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dibimbing oleh
para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Mantan Economic Hitmen, John Perkins, menyatakan jika
Repelita sesungguhnya hanyalah rencana AS untuk bisa merampok, menjarah
secara besar-besaran, dan menguasai Indonesia. Rencana ini disusun
dalam tempo duapuluhlima tahun yang dibagi-bagi menjadi lima
tahunan. “Keberadaan kita (Bandit Ekonomi, penulis) di sini tak lain
untuk menyelamatkan negara ini dari cengkeraman komunisme (dalih,
penulis). ….Kita tahu Amerika sangat tergantung pada minyak Indonesia.
Indonesia bisa menjadi sekutu yang andal dalam hal ini (bekerjasama
dengan rezim Jenderal Suharto, penulis). Jadi, sembari mengembangkan
rencana pokok, lakukan apa saja semampu kalian untuk memastikan industri
minyak dan segala industri lain pendukungnya—pelabuhan, jalur pipa,
perusahaan konstruksi—tetap memperoleh aliran listrik sebanyak yang kita
butuhkan selama rencana duapuluh lima tahun ini berjalan, ” demikian
tulis John Perkins mengutip pernyataan bos-nya, Charlie Illingworth.
Sosok Jenderal Suharto di mata AS, disamakan dengan sosok
Shah Iran, Boneka AS. “Kami berharap Suharto melayani Washington seperti
halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa: Tamak, angkuh, dan bengis…”
(John Perkins)
Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekerja dengan arahan
langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory
Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang
layar, tidak secara terang-terangan,” aku Wakil Direktur DAS Lister
Gordon. AS memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga
stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa
sebelum 1965, bisa sedikit demi sedikit dipulihkan. Mereka inilah yang
berada di belakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan
mengutamakan penanaman modal asing dan ‘swasembada’ hasil pertanian.
Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer
di daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini. Mereka
bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah
dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah
yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok
pusat, dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga
menindas para petani yang bekerja di lapangan. Rakyat kecil tetap
dalam penderitaannya dan tumbuh satu kelas baru di negeri ini yaitu
kelas elit yang kaya raya berkat melayani Washington.
Pada April 1966 Suharto kembali membawa Indonesia
bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika
Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir
mereka dengan kalimatnya yang terkenal: ”Go to hell with your aid!”
Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini,
maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I
(1969-1974) berasal dari utang luar negeri. “Jumlahnya membengkak hingga
US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang
diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno
berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept
2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan
pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan keluarganya kian
menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang para pejabat walau
sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka
sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto dengan para
mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.
Francis Raillon menulis, “Sepanjang 1972-1973 di sekitar
Suharto terjadi rebutan pengaruh antara ‘kelompok Amerika’ melawan
‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan
sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok
kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend.
Soedjono Hoemardhani.” (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa
Indonesia 1966-1974; Des 1985)
Indonesia, Illuminati, dan masa Depan Kita (2)
Kemashyuran kekayaan Nusantara telah dikenal dunia sejak
ribuan tahun sebelum masehi. Bangsa-bangsa Eropa pun berdatangan,
seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan lainnya. Niat
bangsa-bangsa ini ke Nusantara tidak hanya berdagang namun juga untuk
menguasainya sekaligus menyebarkan ajaran salib di tanah yang dianggap
kafir ini. Kita mengenalnya dengan slogan Tiga G: Gold, Glory, dan
Gospel.
Dimulailah masa-masa penuh kegelapan di Nusantara di mana
Belanda dianggap sebagai bangsa yang paling lama mampu menjajah tanah
yang kaya ini. Sejarah telah mencatat bagaimana akhirnya secara politis
bangsa Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Secara aklamasi Soekarno diangkat menjadi presiden. Dan seorang Soekarno
yang lebih dari 25 tahun masa hidupnya dijalani di belakang terali besi
kaum penjajah sungguh-sungguh mengetahui jahatnya sistem kolonialisme
dan imperialisme.
Soekarno menggariskan arah politik anti neo-kolonialisme
dan anti neo-imperialisme, dengan bekerja keras agar Indonesia bisa
mandiri. Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas, dalam kata pengantar
buku John Perkins menuliskan, “Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi
bagi MNC—Multi National Corporate—melalui UU No. 44/1960 yang berbunyi,
“Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau
perusahaan negara.” …Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba
menurun. Tiga besar (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi
ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke
negara-negara lain jika mereka menolak UU N0.44/1960 tersebut. Pada
Maret 1963 Soekarno mengatakan, “Aku berikan Anda waktu beberapa hari
untuk berpikir dan aku akan batalkan semua konsesi jika Anda tidak mau
memenuhi tuntutanku.”
Soekarno pada prinsipnya memang menentang korporatokrasi,
sangat berbeda dengan Suharto yang malah menjadi pelayannya yang teramat
sangat baik. Tak heran jika utang luar negeri di masa Soekarno hanya
2,5 miliar dollar AS, sedangkan di masa Suharto mencapai 100 miliar
dollar AS (!). Sayangnya, sampai detik ini tak ada satu pun pemimpin
Indonesia yang seperti Soekarno, menolak hegemoni korporatokrasi asing
terhadap bangsa dan negara ini. Bahkan ketika anak biologis Soekarno,
Megawati Soekarnoputeri menjadi presiden pun, dia dalam fakta
politik-ekonominya lebih condong ke kiblatnya Suharto ketimbang
Soekarno. Kasus penjualan gas alam Tangguh yang irasional ke Cina
merupakan bukti paling jelas tentang hal ini.
Disebabkan Soekarno tidak mau tunduk pada kepentingan
Nekolim inilah, akhirnya CIA menjatuhkannya dan menaikkan Jenderal
Suharto menjadi presiden menggantikan Soekarno. Kejatuhan Soekarno
dirayakan secara besar-besaran di Washington. Presiden Richard Nixon
menyebutnya sebagai, “Upeti besar dari Asia Tenggara…”
“Bos Perkins, Charlie Illingworth mengingatkan bahwa
Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas
sampai kering. Di mata Nixon, Indonesia ibarat real-estate terbesar di
dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina…,” demikian
tulis Budiarto Shambazy.
Bagi yang ingin mengetahui sedikit tentang perbedaan arah
politik-ekonomi Soekarno dengan Suharto, dan intervensi CIA serta
korporatokrasi AS di Indonesia, silakan melihat film dokumenter “New
Rulers of the World” dari John Pilger di Youtube yang terdiri dari enam
episode. Film yang aslinya berbahasa Inggris itu sudah tersedia dengan
terjemahan bahasa Indonesianya.
Begitu Soekarno jatuh, pada bulan November 1967, Jenderal
Suharto mengirim satu tim ekonomi yang disebut banyak kalangan sebagai
Mafia Berkeley, menghadap para CEO MNC seperti Rockefeller di Swiss, dan
mengggadaikan hampir seluruh kekayaan alam Indonesia.
Pertemuan Mafia Berkeley-Rockefeller di Swiss
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter
karya John Pilger berjudul “New Rulers of the World”, Mafia Berkeley ini
atas restu Suharto menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke
hadapan Rockefeller cs. Mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan
memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di
Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon,
dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967
pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi
tersebut.
Disertasi Doktoral Brad Sampson (Northwestern
University-AS) menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru.
Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal
Australia, John Pilger dalam New Rulers of The World, mengutip Sampson
dan menulis: “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah
terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno
jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu
dibagi-bagi.
The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa
di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi
pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya terdiri dari seluruh
kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American
Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US
Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan
sebagainya. Di seberang meja, duduk orang-orang Suharto yang oleh
Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai
‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.”
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The
Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa
dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California
di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan
hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan
butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber
daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”
Masih dalam kutipan John Pilger, “Pada hari kedua, ekonomi
Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.” Prof. Jeffrey Winters
menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.”
“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu
kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya,
perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh
Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor
lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu
yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya
merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum
yang sangat menguntungkan mereka (dan sangat merugikan bangsa
Indonesia). Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya,
di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan
sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya
investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”
Senin, 02 Juni 2014
Indonesia, Illuminati , dan Masa Depan Kita
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan
capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya
sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia
di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
Apa kabar Indonesia? Hari-hari ini kasak-kusuk partai politik menjelang pemilihan presiden menjadi headline berbagai media massa di negeri ini. Ada yang menjagokan si A, ada pula yang menjagokan si B. Semuanya beralasan jika jagoannya masing-masing mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini masih sebagai sehelai kertas putih yang belum ditulisi. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini sekarang masih berwujud jabang bayi yang sama sekali belum menangggung beban dan dosa.
Sayangnya, Indonesia di hari ini tidaklah seperti itu. Indonesia di hari ini merupakan suatu negeri paling korup di dunia dengan utang luar negeri mencapai lebih dari 3.000 triliun rupiah(!). Angka ini bertambah setiap harinya.
Indonesia di hari ini bukan lagi negeri yang kaya raya, karena semua kekayaan negeri ini yang sangat luar biasa telah dikuasai oleh korporatokrasi asing, dimana para elit dunia seperti klan Rotschild dan Rockefeller berada di belakangnya.
Indonesia di hari ini miskin. Hanya para pemimpin dan pejabatnya yang kaya raya, sedangkan rakyatnya melarat.
Indonesia di hari ini adalah seorang gadis yang dahulunya sangat cantik rupawan, namun telah diperkosa dengan buas selama puluhan tahun tanpa henti.
Indonesia di hari ini adalah suatu negeri paria, dimana bangsanya menjadi kuli dan orang-orang asing menjadi tuannya.
Tidak ada satu pun manusia di Indonesia yang sanggup dan mampu mengeluarkan negeri ini dari lubang kutukan yang sangat parah seperti ini. Tidak Jokowi, tidak Prabowo, tidak Aburizal Bakrie. Tidak siapa pun.
Banyak kalangan yakin seyakin-yakinnya, hanya perang yang mampu mengubah negeri ini. Entah menjadi lebih baik atau sekalian hancur binasa.
Mengapa Indonesia yang dahulu sangat menggiurkan, bahkan dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, sekeping tanah surga yang dititipkan Tuhan di bumi, dan sebutan membanggakan lainnya, sekarang telah berubah menjadi suatu negeri yang teramat sangat menyedihkan?
Sejarah telah mencatatnya dengan tinta suram. Di tanah ini, iblis dan setan telah memenangkan pertempurannya melawan tentara kebajikan. Walau mungkin untuk sementara.
Indonesia, dulu dan kini
“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari tujuhbelas ribu pulau yang tersebar mulai dari Asia Tenggara hingga Australia. Tigaratus etnis di sana menggunakan lebih dari duaratus limapuluh bahasa. Populasi Muslimnya terbesar jika dibandingkan negara lainnya…”
Kalimat di atas bukan keluar dari seorang Indonesia atau Indonesianis. Bukan pula hapalan anak sekolah dasar yang dicekoki gurunya di dalam kelas. Tapi berasal dari kesaksian seorang bandit ekonomi bernama John Perkins di dalam buku keduanya “The Secret History of The American Empire: Economic Hit Men, Jakals, and The Truth About Global Corruption” (2007) .
Jika kita mencari pandangan orang tentang Indonesia, maka ada ribuan bahkan jutaan pendapat tentang negeri ini. Semuanya mengatakan jika Indonesia negeri yang memiliki segalanya. Alamnya indah dan kaya raya, iklimnya sangat bersahabat, tanahnya sangat subur, penduduknya ramah tamah, dan berbagai keunggulan lainnya. Bahkan Arysio Santos Dos Nunes, profesor fisika nuklir asal Brasil, setelah meneliti tentang legenda Benua Atlantis selama hampir tigapuluh tahun menulis di dalam bukunya jika Indonesia ribuan tahun silam adalah pusat dari benua Atlantis.
Nusantara, nama lain dari Indonesia, sejak ribuan tahun sebelum masehi telah dikenal dunia. Dalam kitab Perjanjian Lama (Surat Raja-Raja I, 9: 26-8 dan 10: 10-3) dikisahkan jika Raja (Nabi) Sulaiman membangun banyak kapal di Ezion-Jeber, dekat Elot di tepi pantai Laut Kolzom, di negeri Edom. Sulaiman mengirim sebuah ekspedisi ke Ofir bersama dengan awak kapal Abu Hiram, kepala arsitek pembangunan Haikal Sulaiman. Ekspedisi itu pulang dari Ofir membawa membawa 420 talenta emas (1 talenta Attica setara dengan 26 pon, talenta attica besar sama dengan 28⅟₄ pon, dan 1 talenta Mesir/Corinthian setara 43⅟₂ pon ). Emas itu langsung diserahkan kepada Sulaiman. Bukan hanya emas, dari Ofir, Abu Hiram—dalam literatur Kabbalah sering disebut Hiram Abif—juga membawa banyak batu mulia dan kayu cendana. Di tahun 945 SM, Raja Sulaiman kembali mengirim ekspedisi untuk mencari emas di Ofir.
Dimanakah Ofir? Ofir merupakan nama sebuah pegunungan yang terletak di selatan Tapanuli dekat dengan Pasaman. Puncak pegunungannya dinamakan Talaman dengan ketinggian sekira 2.190 m, dan puncak lainnya bernama Nilam. Di timur Ophir terdapat Gunung Amas yang sampai sekarang dikenal sarat dengan timbal (Pb), besi (Fe), Belerang (S), dan nikel (Ni).
Selain Ofir, tahun 2.500 Sebelum Masehi, Barus—sebuah perkampungan kecil di pesisir barat Sumatera Tengah—juga telah dikenal hingga ke Mesir. Kerajaan Mesir Kuno melakukan kontak dagang dengan Barus untuk membeli Kapur Wangi (Kapur Barus) sebagai bahan dasar proses pembalseman mumi para raja (Firaun).
Masyarakat dunia sejak ribuan tahun silam telah mengenal Sumatera sebagai Tanah Emas. Sebab itu, pulau ini menyandang nama Swarnadwipa, atau Pulau emas. Banyak sebutan-sebutan lain, semisal dari Yunani, Cina, dan sebagainya yang artinya juga sebagai ‘Tanah Emas’. Itu baru dari Sumatera, belum lagi Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan lainnya yang masing-masing menyandang nama yang hebat-hebat karena kekayaannya. (bersambung/Rizki Ridyasmara)
Apa kabar Indonesia? Hari-hari ini kasak-kusuk partai politik menjelang pemilihan presiden menjadi headline berbagai media massa di negeri ini. Ada yang menjagokan si A, ada pula yang menjagokan si B. Semuanya beralasan jika jagoannya masing-masing mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini masih sebagai sehelai kertas putih yang belum ditulisi. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini sekarang masih berwujud jabang bayi yang sama sekali belum menangggung beban dan dosa.
Sayangnya, Indonesia di hari ini tidaklah seperti itu. Indonesia di hari ini merupakan suatu negeri paling korup di dunia dengan utang luar negeri mencapai lebih dari 3.000 triliun rupiah(!). Angka ini bertambah setiap harinya.
Indonesia di hari ini bukan lagi negeri yang kaya raya, karena semua kekayaan negeri ini yang sangat luar biasa telah dikuasai oleh korporatokrasi asing, dimana para elit dunia seperti klan Rotschild dan Rockefeller berada di belakangnya.
Indonesia di hari ini miskin. Hanya para pemimpin dan pejabatnya yang kaya raya, sedangkan rakyatnya melarat.
Indonesia di hari ini adalah seorang gadis yang dahulunya sangat cantik rupawan, namun telah diperkosa dengan buas selama puluhan tahun tanpa henti.
Indonesia di hari ini adalah suatu negeri paria, dimana bangsanya menjadi kuli dan orang-orang asing menjadi tuannya.
Tidak ada satu pun manusia di Indonesia yang sanggup dan mampu mengeluarkan negeri ini dari lubang kutukan yang sangat parah seperti ini. Tidak Jokowi, tidak Prabowo, tidak Aburizal Bakrie. Tidak siapa pun.
Banyak kalangan yakin seyakin-yakinnya, hanya perang yang mampu mengubah negeri ini. Entah menjadi lebih baik atau sekalian hancur binasa.
Mengapa Indonesia yang dahulu sangat menggiurkan, bahkan dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, sekeping tanah surga yang dititipkan Tuhan di bumi, dan sebutan membanggakan lainnya, sekarang telah berubah menjadi suatu negeri yang teramat sangat menyedihkan?
Sejarah telah mencatatnya dengan tinta suram. Di tanah ini, iblis dan setan telah memenangkan pertempurannya melawan tentara kebajikan. Walau mungkin untuk sementara.
Indonesia, dulu dan kini
“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari tujuhbelas ribu pulau yang tersebar mulai dari Asia Tenggara hingga Australia. Tigaratus etnis di sana menggunakan lebih dari duaratus limapuluh bahasa. Populasi Muslimnya terbesar jika dibandingkan negara lainnya…”
Kalimat di atas bukan keluar dari seorang Indonesia atau Indonesianis. Bukan pula hapalan anak sekolah dasar yang dicekoki gurunya di dalam kelas. Tapi berasal dari kesaksian seorang bandit ekonomi bernama John Perkins di dalam buku keduanya “The Secret History of The American Empire: Economic Hit Men, Jakals, and The Truth About Global Corruption” (2007) .
Jika kita mencari pandangan orang tentang Indonesia, maka ada ribuan bahkan jutaan pendapat tentang negeri ini. Semuanya mengatakan jika Indonesia negeri yang memiliki segalanya. Alamnya indah dan kaya raya, iklimnya sangat bersahabat, tanahnya sangat subur, penduduknya ramah tamah, dan berbagai keunggulan lainnya. Bahkan Arysio Santos Dos Nunes, profesor fisika nuklir asal Brasil, setelah meneliti tentang legenda Benua Atlantis selama hampir tigapuluh tahun menulis di dalam bukunya jika Indonesia ribuan tahun silam adalah pusat dari benua Atlantis.
Nusantara, nama lain dari Indonesia, sejak ribuan tahun sebelum masehi telah dikenal dunia. Dalam kitab Perjanjian Lama (Surat Raja-Raja I, 9: 26-8 dan 10: 10-3) dikisahkan jika Raja (Nabi) Sulaiman membangun banyak kapal di Ezion-Jeber, dekat Elot di tepi pantai Laut Kolzom, di negeri Edom. Sulaiman mengirim sebuah ekspedisi ke Ofir bersama dengan awak kapal Abu Hiram, kepala arsitek pembangunan Haikal Sulaiman. Ekspedisi itu pulang dari Ofir membawa membawa 420 talenta emas (1 talenta Attica setara dengan 26 pon, talenta attica besar sama dengan 28⅟₄ pon, dan 1 talenta Mesir/Corinthian setara 43⅟₂ pon ). Emas itu langsung diserahkan kepada Sulaiman. Bukan hanya emas, dari Ofir, Abu Hiram—dalam literatur Kabbalah sering disebut Hiram Abif—juga membawa banyak batu mulia dan kayu cendana. Di tahun 945 SM, Raja Sulaiman kembali mengirim ekspedisi untuk mencari emas di Ofir.
Dimanakah Ofir? Ofir merupakan nama sebuah pegunungan yang terletak di selatan Tapanuli dekat dengan Pasaman. Puncak pegunungannya dinamakan Talaman dengan ketinggian sekira 2.190 m, dan puncak lainnya bernama Nilam. Di timur Ophir terdapat Gunung Amas yang sampai sekarang dikenal sarat dengan timbal (Pb), besi (Fe), Belerang (S), dan nikel (Ni).
Selain Ofir, tahun 2.500 Sebelum Masehi, Barus—sebuah perkampungan kecil di pesisir barat Sumatera Tengah—juga telah dikenal hingga ke Mesir. Kerajaan Mesir Kuno melakukan kontak dagang dengan Barus untuk membeli Kapur Wangi (Kapur Barus) sebagai bahan dasar proses pembalseman mumi para raja (Firaun).
Masyarakat dunia sejak ribuan tahun silam telah mengenal Sumatera sebagai Tanah Emas. Sebab itu, pulau ini menyandang nama Swarnadwipa, atau Pulau emas. Banyak sebutan-sebutan lain, semisal dari Yunani, Cina, dan sebagainya yang artinya juga sebagai ‘Tanah Emas’. Itu baru dari Sumatera, belum lagi Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan lainnya yang masing-masing menyandang nama yang hebat-hebat karena kekayaannya. (bersambung/Rizki Ridyasmara)
Langganan:
Postingan (Atom)