Kamis, 21 Januari 2016

JAMAAH TABLIGH

۝

“Dan hak bagi Allah ( menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya ( kepada jalan yang benar).” ( An-Nahl :9).”

مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَوٰةَ وَلاَ تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۝ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًاۖ كُلُّ حِزْبِۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ۝

“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepadaNya serta dirikan shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” ( Ar-Rum : 31-32).”
Saya akan menyajikan kepada semua orang yang cinta akan agamanya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai ikutannya. Sebuah buku yang di tulis oleh saudara ” Nizar bin Ibrahim Al-Jarbu, yang di beri judul ” Waqfaat ma’a Jama’ah at-Tabligh” di Indonesiakan ” Peringatan Penting Terhadap Jama’ah Tabligh” Penerjemah : “Saudara; “Arif Mufid.” Penerbit; Yayasan Al-Madinah; cetakan pertama: Rabi’ul Tsani 1419H / Agustus 1998M.
A. Berdirinya Jama’ah 
Jama’ah Tabligh didirikan di India oleh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi. Penyebarannya mulai di India dan Pakistas, kemudian mencapai negara-negara Arab dan negeri-negeri Islam lainnya. Hingga jama’ah ini mempunyai markas-markas dan dai-dai di negeri-negeri tersebut. Tak hanya satu, gerakan jama’ah ini pun mencapai negara-negara non Islam. Di sanalah jama’ah ini mempunyai kegiatan untuk memperkenalkan Islam dan berdakwah kepadanya.
Pusat kepemimpinannya ada di India di perkampungan Nidzam ad-Din, Delhi. Dan dari sanalah keluar perintah-perintah dan pelajaran-pelajaran bagi jama’ah.
Jama’ah ini juga mempunyai perkumpulan-perkumpulan besar yang dihadiri oleh banyak kumpulan dari berbagai negeri di belahan dunia.
B. Tujuan-tujuan Jama’ah
Tujuan dakwah Jama’ah ini terfokus pada terealisasinyya enam landasan pokok yang mereka ulang-ulang di waktu pagi dan sore. Keenam landasan pokok itu adalah:
1. Merealisasikan syahadat bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Dengan prinsip ini mereka bermaksud mengeluarkan dari hati keyakinan rusak terhadap sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar tentang Dzat Allah; bahwa Allah sebagai Pencipta ( Al-Khaliq), Pemberi reziki (ar-Raziq), Pemberi manfaat ( an-Nafi’), Yang Menghidupkan ( al-Muhyi). Maka merekapun mengartikan kalimat tauhid hanya atas makna Rububiyyiah saja. Sedang makna Uluhiyyah, dilalaikan. Baik secara ilmu maupun amalnya. Khususnya oleh orang-orang ‘ajam ( bukan Arab) dari golongan mereka.
2. Shalat dengan khusyu’ Maka mereka mempunyai perhatian besar untuk menunaikan shalat bagaimanapun sibuknya. Demikian pula untuk khusyu’ di dalam shalat, berusaha mendapatkan shaf yang pertama dan mendapatkan takbiratul ihram ( bersama imam, pent), serta memperbanyak shalat-shalat sunnah. Semua ini adalah perkara-perkara yang dicari dari seorang muslim dan diberi pahala jika mengerjakannya. Tetapi mereka ( jama’ah Tabligh) lalai untuk mempelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnah dan hukum-hukum shalat tersebut.
3. Ilmu; yang mereka maksud dengan ilmu adalah ilmu fadhail al-a’mal ( amalan-amalan yang utama) dan ilmu tentang aturan-aturan jama’ah dan perintah-perintahnya, thariqat-thariqat para syaikhnya serta ilmu tentang permisalan-permisalan yang mereka buat. Adapun ilmu tentang hukum-hukum dan masalah-masalah fiqh serta ilmu tauhid, mereka tidak mendapat kedudukan sedikit pun.
4. Memperbaiki niat, agar amalan-amalan bersih dari riya’ dan sum’ah.
5. Memuliakan seorang muslim dan bersikap lembut terhadapnya. Serta berlebih-lebihan di dalam perkara tersebut dengan meninggalkan nasehat dan pengingkaran ( nahi munkar) demi menjaga persatuan hati.
6. Keluar ( khuruj) di jalan Allah, mereka mengartikan dengan keluar bersama untuk berdakwah.
C. Tahapan-tahapan Tabligh
Jama’ah Tabligh, dalam menyampaikan dakwah dan merealisasikan keenam landasan pokok, bersandar mutlak pada khuruj ( keluar) dan berbaur bersama kaum muslimin di masjid-masjid, rumah-rumah, tempat-tempat berdagang dan tempat-tempat berkumpulnya mereka. Merekapun menyampaikan nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran dan bujukan-bujukan agar mau khuruj (keluar) bersama mereka untuk berdakwah. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain mewajibkan dirinya untuk bergaul dengan baik, ramah-tamah dan tawadhu’ terhadap kaum muslimin. Menyatukan hati-hati mereka dengan meninggalkan pengingkaran terhadap kemungkaran atas mereka. Dengan cara tersebut mereka bisa menguasai hati-hati dan perasaan-perasaan khalayak. Cara ini meliputi tiga tahap:
1. Tahap Pertama
Memberi pengarahan kepada para anggota jama’ah di markas induk dan menganjurkan berdakwah. Memberi peringatan kepada mereka, yang disampaikan salah seorang yang sudah dikhusukan untuk itu, dengan lemah lembut, sopan santun dan memberi pengarahan-pengarahan secara umum. Juga menganjurkan untuk melakukan qiyamul-lail walaupun hanya sebentar saja.
2. Tahap Kedua
Setelah keluar dari markas, sebelum memulai dakwah di daerah yang dituju, mereka saling mengingatkan. Sebagian menyebutkan apa yang mengusik perasaannya dan menyatakan bisikan-bisikan jiwanya. Yang lainnya membuat permisalan-permisalan yang sesuai dengan realiti. Dibacakan Kitab Riyadh ash-Shalihin ( bagi kumpulan orangg-orang Arab) dan Kitab Tabligh Nashshab ( gabi kumpulan orang-orang ‘Ajam, bukan Arab). Kemudian mereka memperkenalkan diri pada umum dan muadzin masjid serta sebagian penduduk kampung. Hal ini merupakan perkara terpenting untuk kesuksesan dakwah mereka.
3. Tahap Ketiga
Berkeliling menemui manusia di tempat-tempat perdagangan dan tempat-tempat umum untuk memberikan nasihat dan bimbingan. Juga disampaikan pula nasihat-nasehat dan ppelajaran-pelajaran di masjid-masjid. Hal itu dilakukan selesai shalat, biasanya setelah shalat maghrib. Di dalam menyampaikan nasehat, si penasehat tidak akan keluar dari keenam landasan pokok serta banyak berdalil dengan hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu), juga dengan landasan-landasan orang yang diberi petunjuk oleh Allah dengan perantaraan tangan jama’ah ini dan kisah-kisah aneh di dalam masalah tersebut. Diantara kejadian yang aneh dan menyedihkan, bahwa salah seorang dari mereka berdiri untuk memberi nasehat di suatu masjid. Tatkala dia mulai bicara dan menyebutkan salah satu surat dari Al-Qur’an – yaitu surat Al-Ashr- orang ini gagap dan bimbang di dalam bicaranya, sehingga imam masjid harus membantunya. Adapun dia ( imam masjid) tidak tahu siapa mereka. Akhirnya, imam itupun berbicara menggantikan orang tersebut. Hal itu terjadi di depan orang banyak, dan saya pun ( penulis kitab ini) hadir pada peristiwa tersebut beberapa tahun yang lalu. Hal itu disebabkan terlalu seringnya mereka mengajukan orang yang tidak berilmu dan tidak mempunyai fiqh ( pemahaman tentang agama) untuk menasehati kaum muslimin. Akhirnya mereka pun minta kepada hadirin untuk khuruj ( keluar) bersama mereka guna berdakwah di jalan Allah.
D. Sumber Pengambilan Jama’ah Tabligh
Sumber pengambilan ilmu jama’ah Tabligh dalam dakwah bersandar pada  tiga kitab:
1. Kitab Riyadh ash-Shalihin karya An-Nawawi, umumnya mereka khususkan kitab ini untuk orang-orang Arab, ( Di Indonesia, Kitab tersebut digunakan pula walaupun dalam bentuk terjemahan. Dan tidak sedikit dari mereka yang hanya membacakan terjemahannya semata. Bahkan banyak diantaranya yang belum lancar membaca huruf Arab, pent).
2. Kitab Tabligh Nashshab, karya Muhammad Zakaria al-Kandahlawi. Merupakan kitab induk bagi jama’ah, bahkan bagi sebagian penduduk perkampungan India. Di dalam kitab ini terdapat bid’ah-bid’ah, khurafat, kesyirikan-kesyirikan. Lebih-lebih lagi hadits-hadits maudhu (palsu) dan dha’if ( lemah).
3. Kitab Hayat ash-Shahabah, karya Muhammad Yusuf al-Kandahlawi ( dia adalah putra Muhammad Ilyas pendiri Jama’ah Tabligh. Dia ( Muhammad Yusuf) menjadi pimpinan jama’ah setelah kematian bapaknya). Kitab ini juga seperti sebelumnya, penuh dengan cerita yang dibuat-buat, hadits-hadits maudhu’ dan dha’if.
Ulama Jama’ah Tabligh
Tidak dikenal bagi kalangan anggota jama’ah Tabligh para ulama yang dijadikan rujukan. Maka hampir tidak pernah engkau lihat seorang penuntut ilmu pun yang diperhitungkan ( mu’tabar) berada di barisan mereka. Hal itu karena jauhnya mereka dari ilmu dan ahlinya. Sebagaimana dikemukakan di muka, bila mereka diberi pelajaran-pelajaran dan perintah-perintah dari pimpinan di India, mereka melaksanakan sebagaimana adanya.
Beberapa tahun yang lalu saya ( penulis buku ini, Nizar), mendapatkan sebagian potokapi surat-menyurat antara seorang da’i di Majlis ifta’ di Kerajaan ( Saudi, pent) yaitu ” Beliau adalah Syaikh Sa’d al-Hushain dan tulisan-tulisan beliau di dalam menasihati Jama’ah Tabligh dan orang-orang yang tertipu dengan jama’ah ini sudah beredar. Dan itu adalah sebagai bantahan atas mereka. Karena beliau termasuk da’i-da’i besar yang telah mencapai tujuan yang besar pada jama’ah, dan memungkinkan beliau untuk mengenal Jama’ah Tabligh dengan sebenarnya serta mengungkap sisi-sisi penyimpangan yang fatal pada manhaj jama’ah ini. Beliau ini berdakwa dengan amir mereka In’am al-Hasal. Dalam surat-menyuratnya da’i ini mengkritik amir jama’ah tentang pembai’atannya terhadap beribu-ribu orang ‘ajam ( selain Arab) dan sejumlah pemuda di jazirah Arab atas empat thariqat Shufiyyah, yaitu : al-Jisytiyyah, an-Naqsyabandiyyah, al-Qadiriyyah dan as-Sahrawardiyyah.
Adalah amir dakwah serta para pemukanya mempunyai dua muka. Salah satunya, mereka tampilkan muka tersebut untuk penduduk Nejd dan orang yang konsisten dengan sunnah. Sedang yang lain, mereka tampilkan muka tersebut kepada orang yang bergelimang dengan bid’ah dari orang-orang ‘ajam dan penduduk dunia lainnya. Beliau ( Syaikh Sa’id al-Hushain) juga mengingkari amir tersebut tentang pengingkaran sebagian tokoh-tokoh dakwah di dalam akidah mereka, seperti al-Qadhi Abdulqadir dan tulisan rajah-rajahnya yang penuh dengan mantra-mantra. Dan ( beliau) juga mengingkarinya tentang pengkhususan orang-orang  Arab dengan kitab Riyadh ash-Shalihin dan pengkhususan orang-orang ‘ajam ( selain Arab) dengan kitab Tablighi Nashshab yang penuh dengan khurafat dan kesyirikan, di antaranya meminta syafaat dari Nabi SAW, dan kisah bahwa Nabi SAW mengeluarkan tangan beliau dan mengucapkan salam kepada Ahmad ar-Rafa’i di hadapan sembilan puluh ribu orang Islam.
Kemudian amir jama’ah, In’am al-Hasan, membalas surat beliau dengan pengakuan tertulis tentang diambilnya baiat kaum muslimin atas empat thariqat ini dengan alasan bahwa baiat atas thariqat-thariqat ini sudah sudah merebak dan tersebar di pelosok-pelosok India. Kalau dia tidak membaiat kaum muslimin di sana, niscaya mereka akan membaiat orang lain, sehingga mereka akan terjerumus dengan perbuatan tersebut ke dalam jaring-jaring ahli bid’ah kalangan sufi dan orang-orang zindiq. Dan dia juga beralasan, tatkala membantah pengingkaran dai ini terhadap penyimpangan sebagian tokoh-tokoh dakwah di dalam aqidah mereka dengan perkataan bahwa tidak bisa dipungkiri kalau kebanyakan manusia tatkala bertaubat dan kembali kepada ash-shirath al-mustaqim, pada diri mereka masih ada bekas-bekas pengimpangan di masa lalu. Maka, dengan jawaban tersebut, dia menghendaki taubatnya orang sepantar syaikh-syaikh tersebut – yang merupakan tokoh – dari kesesatan dan penyimpangan.
Dalam suratnya, dijawab pula pengingkaran terhadap kekhususan kitab Tablighi Nashshab bagi orang ‘ajam ( selain Arab) yang didalamnya penuh dengan khurafat, kesyirikan dan hadits-hadits dha’if. Jawabannya, bahwa sebagian ulama salaf, seirama dengan tinggihnya martabat mereka di dalam masalah hadits, tatkala mereka menyusun kitab tentang fadhail al-a’mal ( amalan-amalan yang utama), mereka memudah-mudahkan (tasahul) dan menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if.
Dia pun berkelit pula dari maksud mengingkari perkara terbesar yaitu kesyirikan dan khurafat yang terdapat di dalam kitab ini.
F. Perkara-perkara yang diharamkan menurut jama’ah
Termasuk prinsip-prinsip jama’ah ( Tabligh, pent) adalah melarang para anggotanya untuk tenggelam dalam masalah-masalah aqidah ( tauhid) atau masalah-masalah fiqh. Karena jama’ah berpendapat bahwa masalah tersebut akan membuka pintu-pintu kejelekan, melarikan kaum muslimin dari jama’ah tersebut dan terkadang menyebabkan terjadinya kendala-kendala di hadapan dakwah. Juga dilarang menuntut ilmu ketika berada di dalam barisannya. Kalau ada seseorang dari anggota menuntut ilmu niscaya mereka akan menghalangi sebagaimana pernah terjadi pada saudara-saudara kita. Demikian pula diantara manhaj mereka adalah tidak mau mengingkari bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan yang membuat manusia kacau. Bahkan perkaranya lebi komplek dari itu semua. Mereka, pada dasarnya, tidak memegang prinsip mengingkari kemungkaran dan hanya mencukupkan dengan amar ma’ruf saja.
Perkara-perkara yang dianjurkan menurut jama’ah
Tasawwuf sangat mendominasi anggota-anggota jama’ah. Sehingga mereka bersamangat untuk ibadah dan dzikr ( walaupu dengan cara membuat bid’ah yang tidak di izinka oleh Allah), melatih diri dengan sedikit makan, ( tapi sebaliknya merekalah yang gemuk-gemuk setelah pulang dari khuruj,pent), berjaga malam dan kurangkan pembicaraan. Merekapun mencurahkan perhatian yang besar terhadap mimpi dan takwilnya. Mimpi tesebut mempunyai pengaruh yang kuat di dalam kehiduppan dan dakwah mereka. Begitu pula mereka mempunyai perhatian terhadap keadaan-keadaan yang terjadi di saat berdakwah dan beribadah. Dan mereka pun mempunyai cerita-cerita aneh tentang masalah tersebut.
Salah seorang da’i mereka, dia seorang yang terkenal di Riyadh, yang giat di dalam dakwah bercerita kepada saya ( penulis buku ini pent), bahwa seseorang dari pengikut-pengikut mereka menceritakan kepadanya tatkala dia sedang berzikir di masjid setelah shalat subuh dalam keadaan duduk dan meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya, tiba-tiba tangannya dipegang seseorang seraya berkata ( padahal dia tidak melihatnya) : assalam ‘alaikum. Hal itu berulang beberapa kali. Maka al-akh ( saudara) yang menceritakan kisah ini mengatakan kepadanya Allahu Akbar. Inilah malaikat yang menyalamimu.” Maka aku katakan kepada al-akh da’i ini dan juga kepada yang hadir, barangkali itu adalah syaitan yang ingin memfitnahnya” Lalu saya pun memberi nasehat kepada mereka untuk berhati-hati dari tempat-tempat yang bisa menggelincirkan seperti itu, dan untuk tidak peduli terhadap khayalan yang mereka anggap sebagai karamah. Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana seorang ahli tauhid bisa terpengaruh bid’ah-bid’ah yang mungkar semacam ini, padahal masanya masih dekat dengan dakwah tauhid, La haula wala quwwata illa billah.
Kesalahan-kesalahan Dan Penyimpangan Jama’ah Tabligh Dari Manhaj Syar’i
Kesalahan-kesalahan dan penyimpangan jama’ah Tabligh dari manhaj syar’i, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jama’ah Tabligh bermanhaj dengan manhaj sufi di dalam masalah aqidah, dakwah dan ibadah-ibadahnya serta pada akhlak para anggota amir dan syaikhnya.
2. Pembaiatan yang dilakukan jama’ah Tabligh dan sebagian syaikhnya terhadap orang awam dan sebagaian orang Arab berdasar empat Tharikat sufi yaitu:” al Jisytiyyah, al Qadariyyah, an Naqsabandiyyah, dan as- Sahrawardiyyah.
3. Ketetapan sandaran mereka kepada kitab Tabligh Nashshab, karya Mohammad Zakaria al Kandahlawi, padahal di dalamnya terdapat bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan berbagai bentuk Tasawwuf. Dan kitab Hayat ash-Shahabah; karya Muhammad Yusuf al-Kandahlawi yang penuh dengan cerita-cerita karut dan hadits-hadits dhaif (lemah) dan maudhu (palsu).
4. Mereka membatasi Islam hanya pada bagian ibadah-ibadah, dzikir-dzikir, kadang-kadang menambah-nambah dan merekah-rekah.
5. Melalaikan ilmu dan ahlinya ( tak mau belajar ilmu kepada ahlinya) maka itu kita tak pernah melihat ada ulama di kalangan mereka menjadi rujukan.
6. Mereka berdakwah kepada agama Allah dengan tanpa ilmu dan bashirah ( hujah yang jelas).
7. Mereka banyak berdalil dengan hadits-hadits dhaif dan maudhu yang tiada asal muasalnya.
8. Pengelompokan dan menyendiri dengan suatu jama’ah tersendiri yang manhajnya menyelisihi manhaj ahlu as-Sunnah wal jama’ah.
( lihat kitab Waqfaat ma’a Jama’ah at-Tabligh; judul Edisi Indonesia; Peringatan Peting Terhadap Jama’ah Tabligh, penulis Nizar bin Ibrahim al-Jarbu’ Penerjemah; Arif Mufid, Penerbit; Yayasan Al-Madinah jln Slamet Riyadi 327 Makamhaji Surakarta 57161, cetakan pertama : Rabi’ul Tsani 1419H Agustus 1998M.
Fatwa Lajnah Daimah ( Lembaga tetap) tentang Jama’ah Tabligh, no, Fatwa; 17776, tertanggal 18/3/1416H. Seorang penanya ( Mohammad Khalid al Habsi bertanya kepada Syaikh Ibnu Baz, ada empat soalan: ”
1. Membuat lingkaran di dalam masjid setiap dua orang
2. Ber i’tikaf pada setiap hari kamis dalam bentuk terus menerus
3. Membatasi hari untuk khuruj, 3, hari, 7 hari, 1, bulan, 40, hari setiap tahun, dan 4 bulan se umur hidup
4. Selalu berdo’a berjama’ah setiap setelah bayan
Bagaimana wahai Syaikh yang mulia!
Beliau menjawab
Apa yang telah anda sebutkan dari perbuatan jama’ah ini ( Jama’ah Tabligh) seluruhnya adalah bid’ah, maka tidak boleh ikut serta sama mereka sampai mereka berpegang teguh dengan manhaj Kitab dan Sunnah serta meninggalkan bid’ah-bid’ah.
Tertanda : Ketua Lajnah Abdul Aziz bin Abd bin Baz
Anggota :  Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syeikh
: Shalih bin Fauzan al Fauzan
: Bakr bin Abdullah Abu Zaid
Ditulis oleh Rabi’bin Hadi Al Madkhali pada 29 Muharram 1421H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar