Rabu, 30 September 2015

Waktu Dhuha

Ada dua waktu yang mengapit waktu dhuha. Yang pertama adalah ketika matahari terbit sampai tinggi. Dan yang kedua yaitu ketika seseorang berdiri di tengah bayangannya sampai matahari tergelincir. 

Batas Awal Sholat Dhuha

Setelah mengetahui waktu yang diharamkan untuk sholat dhuha, maka pertanyaan selanjutnya adalah kapan sih waktu di mulainya sholat dhuha. 

Para Ulama berbeda pendapat mengenai waktu mulainya shalat dhuha. Sebagaian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu mulainya shalat dhuha adalah tepat setelah terbitnya matahari. Namun dianjurkan untuk menundanya sampai matahari setinggi tombak. Pendapat ini diriwayatkan An Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah.

Sebagian ulama syafi’iyah lainnya juga berpendapat bahwa shalat Dhuha dimulai ketika matahari sudah setinggi kurang lebih satu tombak. Pendapat ini ditegaskan oleh Ar Rofi’i dan Ibn Rif’ah.

Demikian yang menjadi pendapat Imam Abu Syuja’ dalam matan At-Taqrib, ketika beliau menjelaskan waktu-waktu yang terlarang untuk shalat. Hal yang sama juga menjadi pendapat Imam Al-Albani. Beliau ditanya tentang berapakah jarak satu tombak. Beliau menjawab: “Satu tombak adalah 2 meter menurut standar ukuran sekarang.” (Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah, 2/167). Sebagian ulama’ menjelaskan, jika diukur dengan waktu maka matahari pada posisi setinggi satu tombak kurang lebih 15 menit setelah terbit.

Batas Waktu Akhir Shalat Dhuha

Batas akhir waktu shalat dhuha adalah sebelum waktu larangan shalat, yaitu ketika bayangan tepat berada di atas benda, tidak condong ke timur atau ke barat. Untuk menentukan batas akhir waktu dhuha, anda bisa perhatikan bayangan benda. Selama bayangan benda masih condong ke arah barat, meskipun sedikit, berarti waktu dhuha masih ada. Kemudian ketika bayangan benda lurus dengan bendanya, tidak condong ke barat maupun ke timur, waktu shalat dhuha telah habis. Karena matahari persis berada di atas benda. Ada sebagian yang memberikan acuan, kurang lebih 15 menit sebelum masuk dzuhur.

Cara Mudah Menentukan Batas Waktu Shalat Dhuha


Saat ini banyak kalender yang dilengkapi jadwal shalat yang diterbitkan oleh Depag atau Tarjih Muhammadiyah, termasuk beberapa kampus islam. Untuk mengetahui waktu sholat dhuha maka Anda harus memperhatikan waktu terbit matahari dan waktu dzuhur.
  • Batas awal waktu dhuha adalah waktu terbit matahari + 15 menit
  • Batas akhir waktu dhuha adalah waktu dzuhur – 15 menit.

Waktu Dhuha yang Paling afdhal

Waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah ketika matahari sudah mulai panas (dekat dengan waktu berakhirnya Dhuha). 

Seperti yang telah diriwatkan dari Al Qosim As Syaibani bahwa Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu melihat beberapa orang melakukan shalat Dhuha, kemudian Zaid mengatakan: “Andaikan mereka tahu bahwa shalat setelah waktu ini lebih utama. Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Shalat para Awwabin adalah ketika anak onta mulai kepanasan.” (HR. Muslim 748).

Yang dimaksud Awwabin dari hadist diatas adalah orang yang suka kembali pada aturan Allah.

Sebagian ulama mengatakan: “Shalat pada waktu ini dikaitkan dengan Awwabin karena umumnya pada waktu tersebut jiwa manusia condong untuk istirahat. Akan tetapi orang ini menggunakan waktu tersebut untuk melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan melakukan shalat. Meninggalkan keinginan hati menuju ridlo Penciptanya.” (Faidhul Qadir, 4/216)

Imam An-Nawawi mengatakan: ulama madzhab kami (syafi’iyah) mengatakan: “Waktu ketika matahari mulai panas adalah waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat dhuha, meskipun dibolehkan shalat sejak terbit matahari sampai menjelang tergelincirnya matahari. (Syarh Shahih Muslim, 6/30).
Itulah ulasan menenai  waktu sholat dhuha. Semoga informasi yang kami tulis diatas dapat bermanfaat bagi kita. sumber rumaysho.com

Cara Agar Shalat Dhuha Berpahala Umrah

ilustrasi shalat dhuha (ummi-online.com)
Shalat dhuha memiliki banyak keutamaan. Salah satu keutamaan istimewa shalat dhuha adalah mendapatkan pahala seperti pahala umrah. Tentu, karena pahalanya besar, ada cara khusus mengerjakannya. Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya, ada dua cara agar shalat dhuha berpahala umrah.
Cara pertama, shalat dhuha yang menjadi satu paket dengan shalat Subuh berjamaah dan dzikir hingga masuk waktu dhuha lalu ditutup dengan shalat dua rakaat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

“Barangsiapa mengerjakan shalat Subuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumrah secara sempurna.” (HR. Thabrani; shahih lighairihi)
Cara kedua, setelah shalat Subuh boleh pulang lagi ke rumah, tetapi di waktu dhuha ia mengerjakan shalat Dhuha di masjid.

مَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ ‏يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ

”Barangsiapa keluar rumah untuk melakukan shalat Dhuha, dan tidak ada yang ‎menyebabkannya keluar kecuali untuk shalat Dhuha, maka ‎pahalanya seperti pahala orang yang umrah” ‎(HR. Abu Dawud; hasan)
Mungkin ada yang bertanya, bukankah shalat sunnah lebih utama dikerjakan di rumah? Ya, memang secara umum shalat sunnah lebih utama dikerjakan di rumah. Namun dalam hal ini, shalat dhuha yang berpahala umrah secara khusus disebutkan di masjid. Meskipun, dikerjakan di rumah pun tetap sah dan berpahala.
Tentang keutamaan shalat dhuha di masjid, hadits lain menjelaskan bahwa ketika para sahabat membicarakan ghanimah, mereka dianjurkan shalat dhuha di masjid karena itu lebih besar nilainya daripada ghanimah yang mereka bicarakan.

مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ غَدَا إِلىَ الْمَسْجِدِ لِسَبْحَةِ الضُّحىَ، فَهُوَ أَقْرَبُ مَغْزىً وَأَكْثَرُ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكُ رَجْعَةً

“Barangsiapa berwudhu kemudian pergi pada waktu pagi ke masjid untuk melaksanakan shalat dhuha, maka hal itu adalah peperangan yang paling dekat, ghanimah yang paling banyak, dan kembalinya lebih cepat” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan shahih).
Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/bersamadakwah]

Meraup Amalan Haji dan Umroh Berkali-kali

Bagi yang belum berhaji dan ingin mendapatkan amalan sebesar haji dan umrah:
1. “Sekelompok orang-orang fakir miskin datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua kedudukan yang tinggi serta kebahagiaan yang abadi dengan harta memreka. Mereka shalat dan berpuasa sebagaimana yang kami lakukan. Akan tetapi mereka mempunyai harta untuk menunaikan haji; umrah dan bersedekah.”  Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Sukakah kalian saya ajarkan sesuatu yang dapat mengejar orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian, dan tidak ada yang lebih utama dari kalian, kecuali mereka melakukan seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Baiklah ya Rasulullah.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Setiap selesai sholat bacalah olehmu Tasbih (Subhanallah); Tahmid (Alhamdulillah) dan Takbir (Allahu Akbar) masing-masing sebanyak 33 kali.” (Shahih; HR Bukhari).

2.  “Barang siapa shalat Shubuh berjamaah, kemudian duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah secara sempurna, sempurna, sempurna.” (Shahih; Shahih Al-Jami’ hadits no. 6346).

3.  “Barang siapa berjalan untuk shalat wajib berjamaah maka itu pahalanya seperti pahala orang yang berhaji dan ihram. Barang siapa berjalan untuk shalat sunnah maka itu seperti pahala umrah.” (Hasan; Shahih Al-Jami’ hadits no. 6556).

4. “Barang siapa berjalan untuk shalat wajib dalam keadaan sudah suci (berwudhu di rumah), maka ia seperti mendapatkan pahala orang yang berhaji dan ihram….” (Shahih; HR Ahmad).

9.    “Siapa yang menyiapkan bekal untuk orang yang akan berjihad, ibadah haji, mencukupi keluarga yang ditinggalkan atau memberi makan orang yang buka puasa maka ia mendapatkan pahala seperti pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Shahih; Shahih At-Targhib, 1078).

10.    Siapa yang pergi ke masjid—dan tidak ada yang diinginkan selain belajar tentang kebaikan atau mengajarkannya—maka ia mendapatkan pahala seperti pahala haji yang sempurna.” (Hasan Shahih; Shahih At-Targhib, 86).