Kamis, 28 Mei 2015

Membongkar Kesesatan jamaah tabligh

Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat 

JAMA’AH TABLIGH
Jama’ah Tabligh termasuk ahlul bid’ah dan firqah sesat yang menyesatkan dari firqah shufiyyah. Firqah tabligh ini terbit dari India yang dilahirkan oleh seorang shufi tulen bernama Muhammad Ilyas. Kemudian firqah sesat ini mulai mengembangkan ajarannya dan masuk ke negeri-negeri Islam seperti Indonesia dan Malaysia dan lain-lain.
Firqah tabligh ini dibina atas dasar kejahilan di atas kejahilan yang dalam dan merata yang diawali oleh pendirinya, pengganti-penggantinya,Amir-amirnya, tokoh-tokohnya, syaikh (guru)-syaikhnya, murid-muridnya, istimewa pengikut-pengikutnya dari orang-oang awam. Kejahilan mereka terhadap Islam, mereka hanya melihat Islam dari satu bagian dan tidak secara keseluruhan sebagimana yang Allah perintahkan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam (ajaran) Islam scara kaffah (keseluruhan).” (Al-Baqarah: 208).



Kerusakan aqidah mereka yang dipenuhi dengan kesyirikan yang berdiri di atas manhaj shufiyyah. Ibadah mereka yang dipenuhi dengan bid’ah yang sangat jauh dari Sunnah. Akhlak dan adab mereka yang dibuat-buat sangat jauh dari akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Mereka sangat fakir dan miskin dari ilmu karena mereka sangat menjauhi ilmu. Kebencian dan kedengkian mereka yang sangat dalam kepada imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab dan lain-lain. Bahkan salah seorang amir dari firqah tabligh ini pernah berkata dengan sangat marah sekali, “Kalau seandaiya aku mempunyai kekuatan sedikit saja, pasti akan aku bakar kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahab. Dan aku tidak akan tinggalkan sedikitpun juga dari kitab-kitab mereka yang ada di permukaan bumi ini.” (Dari kitab al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh hal. 44-45 oleh Syaikh Hamud bin Abdulah bin Hamud at-Tuwaijiriy).
Alangkah besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap pembela-pembela Sunnah.
BID’AH-BID’AH JAMA’AH TABLIGH
Di antara bid’ah-bi’ah Jama’ah Tabligh ialah “ushul sittah” (dasar yang enam) yaitu:
Pertama: Kalimat Thayyibah.
Yaitu dua kalimat syahadat: Asyhadu alla ilaaha illallah wa asy hadu ana muhammadar-rasulullah. Yang mereka maksudkan hanya terbatas pada tauhid rububiyyah, yaitu mengesakan Allah di dalam penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, pengaturan-Nya dan lain-lain yang masuk ke dalam tauhidrububiyyah.
Tauhid inilah yang mereka amalkan dan menjadi dasar di dalam dakwah mereka. Adapun tauhiduluhiyyah atau tauhid ubudiyyah (yaitu mengesakan Allah di dalam beribadah kepada-Nya) dan tauhidasma’ wassifat (mengesakan Allah di dalam nama dan sifat-Nya tanpa ta’wil) tidak ada pada mereka baik secara ilmu maupun amal dan dakwah. Oleh karena itu, mereka mmembatasi berhala, istimewa pada zaman ini, hanya lima macam berhala: 
1. Berusaha mencari rezeki dengan menjalani sebab-sebabnya seperti berdagang atau membuka toko dan lain-lain dari jalan yang halal.
Inilah yang dikatakan berhala oleh Jama’ah Tabligh! Karena dia akan melalaikan manusia dari kewajiban agama kecuali kalau mereka khuruj (keluar di jalan Allah menurut istilah firqah Jama’ah Tabligh) bersama Jama’ah Tabligh!? 
2. Berhala yang kedua yaitu: Keluarga dan teman.
Karena mereka ini pun melalaikan manusia dari mengakkan kewajiban kecuali kalau mereka khurujbersama Jama’ah Tabligh!? 
3. Berhala yang ketiga yaitu: Nafsu Ammaarah Bissuu’ (nafsu yang mmerintahkan berbuat kejahatan).
Karena menurut mereka nafsu ammaarah ini menghalangi menusia dari
berbuat kebaikan dan dari jalan Allah seperti khuruj bersama Jama’ah Tabligh.
Jama’ah Tabligh adalah ahlul bid’ah, jahil dan sesat bersama khuruj bid’ah mereka, maka merekalah yang lebih berhak mengkuti nafsu ammaarah. Adapun orang yang menyalahi Jama’ah Tabligh dan berpaling dari mereka serta memperingati manusia dari bid’ahnya firqah tabligh, maka diharapkan orang tersebut jiwanya thayyibah (baik) marena ia mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan dan pelakunya. 
4. Berhala yang keempat: Hawa Nafsu.
Karena menurut Jama’ah Tabligh hawa nafsu ini akan menghalangi manusia dari kebaikan seperti khuruj bersama mereka.
Sesungguhnya Jama’ah Tabligh yang lebih berhak dikatakan sebagai pengikut-pengikut hawa nafsu kaena mereka termasuk ahlul bid’ah. Sedangkan ahlul bid’ah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu oleh karena itu ulama kita menamakannya ahlul ahwaa’. Di antara bukti bahwa Jama’ah Tabligh pengikut hawa nafsu mereka membai’at manusia atas dasar beberapa tarekat shufiyyah sebagaimana akan datang penjelasannya.
Pengantar
Pada pembahasan yang lalu, kita telah mengemukakan sedikit penjelasan tentang apa dan bagaimana sebenarnya firqoh sesat Jama’ah Tabligh itu, dan sedikit penjelasan tentang bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh firqoh Jama’ah Tabligh (JT). Pada pembahasan kali ini, kita akan melanjutkan tulisan dari Fadhilatul Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafidzohullah menganai bid’ah-bid’ah dan kesesatan firqoh ini…selamat membaca…(admin)
5. Berhala yang kelima yaitu: Syaithon
Yang terakhir ini menurut firqoh tabligh sangat besar menghalangi manusia dari kebaikan sepertikhuruj bersama Jama’ah Tabligh.
Pada hakikatnya Jama’ah Tablighlah yang dihalangi oleh syaithan dari kebenaran yang sangat besar yaitu mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan diperintah untuk mengerjakan kejahatan yang besar yaitu bid’ah. Karena bid’ah lebih dicintai iblis dari maksiat dan sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Jama’ah Tabligh tergolong ahlul bid’ah yang mengikuti sunnahnya shufiyyah.
Kedua: Shalat Lima Waktu, shalat Jum’at, shalat jama’ah di masjid, shalat yang khusyu’, shalat pada shaf yang pertama, memperbanyak shalat-shalat sunnah dan lain-lain.
Yang pada hakikatnya amal-amal di atas diwajibkan dan sangat disukai di dalam agama. Akan tetapi Jama’ah Tabligh telah melalaikan beberapa kewajiban untuk menegakkan amal-amal di atas di antaranya: 
Ilmu
Mereka beramal dengan kebodohan tanpa ilmu kecuali ilmu fadhaa-il (keutamaan keutamaan amal) sebagaimana akan datang keterangannya pada dasar yang ketiga. 
Mengikuti Sunnah
Mereka meninggalkan mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan berpegang kepada bid’ah, taqlid dan ta’ashshub madzhabiyyah
Melalaikan mempelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum dari amal-amal di atas
Oleh karena itu, kita lihat mereka tidak mengerti cara shalat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Adapun masjid, maka mereka mangajak ke masjid-masjid tempat mereka berkumpul.
Ketiga: Ilmu.
Yang mereka maksudkan dengan ilmu ialah: 
  1. Ilmu fadhaa-il yaitu tentang mempelajari keutamaan-keutamaan amal menurut mereka. Adapun ilmu tauhid dan ahkaam (hukum-hukum) dan masalah-masalah fiqhiyyah (fikih) dan ilmu berdasarkan dalil-dalil al-Kitab dan Sunnah, mereka sangat jauh sekali dan melarangnya bakhan memeranginya.
  2. Ilmu tentang rukun iman dan Islam. Akan tetapi mereka memelajarinya atas dasar tarekat-tarekatshufiyyah, khurafat-khurafat, hikayat-hikayat yang batil dan ta’ashshub madzhabiyyah.
Keempat: Memuliakan atau menghormati kaum Muslimin.
Menurut firqoh tabligh, setiap orang yang mengucapkan dua kalimat ”Laa ilaaha illallah muhammadar-rasulullah”, maka wajib bagi kita memuliakan dan menghormatinya meskipun orang tersebut telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar seperti syirik. Menurut mereka: ”Kami tidak membenci pelaku maksiat akan tetapi yang kami benci adalah maksiatnya!!”
Di dalam dasar yang keempat ini, mereka sangat berlebihan menghormati atau memuliakan kaum muslimin dengan meninggalkan nahi munkar dan nasihat dan dengan cara yang dibuat-buat.
Kalima: Mengikhlaskan niat agar jauh dari riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kebaikan).
Akan tetapi, mereka meninggalkan Sunnah dan mengikuti-mengikuti cara-cara ikhlas di dalamtashawwuf.
Keenam: Khuruj. Menurut Jama’ah Tabligh makna khuruj keluar di jalan Allah berdakwah yang merupakan jihad yang paling besar. Mereka membatasi dakwah hanya dengan khuruj berjama’ah bersama mereka selama tiga hari dan seterusnya. Khuruj ini mempunyai kedudukan dan keutamaan yang besar di dalam bid’ah mereka melebihi shalat, sedekah, puasa, dan haji dan lain-lain.
Keutamaan khuruj ini pernah saya dengar langsung dari salah seorang amir mereka di Pekanbaru pada tahun 1995 di Masjid Agung An-Nur selepas shalat maghrib. Ketika amir itu telah selesai dari ceramah bid’ahnya dan mengajak kaum muslimin mengerjakan bid’ah yang lain yaitu khuruj, saya tanyakan mana dalilnya dari Al-Kitab dan Sunnah tentang keutamaan khuruj yang saudara katakan tadi? Amir itu sangat terkejut dan mengingkari apa yang telah dia katakan di atas. Kemudian saya meminta kepada Jama’ah Tabligh yang hadir di masjid itu untuk menjadi saksi bahwa amir mereka betul-betul telah mengucapkannya. Besar harapan saya bahwa mereka akan membenarkan apa yang saya katakan dan menjadi saksi di dalam kebenaran bukan menjadi saksi palsu. Akan tetapi harapan saya hilang ketika mereka semuanya mengingkari saya dan membenarkan amir mereka. Tidak ada saksi bagi saya kecuali Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat kemudian seorang ikhwan kita yang duduk di samping saya. Lalu saya pun meninggalkan masjid sambil berkata bahwa mereka ini semuanya pembohong!
Aqidah dan amalan khuruj mereka berasal dari mimpinya pendiri Jama’ah Tabligh yaitu Muhammad Ilyas. Dia bermimpi menafsirkan ayat Al-Qur’an surat Ali Imaran ayat 110 yang artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”
Berkata Muhammad Ilyas di dalam mimpinya itu ada yang mengatakan kepadanya tentang ayat di atas:”Sesungguhnya engkau (diperintah) untuk keluar kepada manusia seperti para Nabi.”
Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa tafsir Muhammad Ilyas atas jalan mimpi mengikuti cara-carashufiyyah adalah tafsir yang sangat batil dan rusak. Tafsir syaithaniyyah yang mewahyukan kepada Muhammad Ilyas yang akibatnya timbulnya bid’ah khuruj yang menyelisihi manhaj para Shahabat. Terang-terangan atau tersembunyi tafsir Muhammad Ilyas ini menujukkan bahwa dia mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah seperti perintah Allah kepada Nabi dan Rasul. Yang pada hakikatnya, syaithanlah yang mewahyukan kepada dia dan kaum shufi yang lainnya demi membuat bid’ah besar.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh adalah mereka bermanhaj dengan manhaj shufi di dalam aqidah, dakwah, ibadah, akhlaq dan adab dan lain-lain. Baik orang-perorangnya, amir-amirnya dan guru-gurunya.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, amir dan sebagian dari guru-guru mereka dibai’at atas empat macam tarekat shufiyyah yaitu:
  1. Naqsyabandiyyah
  2. Qaadiriyyah
  3. Jisytiyyah
  4. Sahruwiyyah
Demikianlan amir tertinggi mereka membai’at pengikut-pengikutnya atas dasar empat tarekat di atas.
Mereka sangat berpegang dan memuliakan kitab mereka: Tablighi Nishaab (Kitab Tablighi Nishaabdinamakan juga kitab Fadlaa-il a’maal) oleh Muahmmad Zakaria Kandahlawiy secara manhaj maupun dakwah. Kitab Tablighi Nishaab ini dipenuhi dengan berbagai macam bid’ah, syirik, tashawwuf, khurafat, hadits-hadits dha’if dan maudlu’. Di antara bid’ah syirkiyyat (syirik-ed) yang terdapat di dalam kitab ini ialah memohon syafa’at kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Dan beliau pernah mengeluarkan tangannya dari kubur beliau untuk menyalami Ahmad Ar-Rifaa’iy (ketua shufi dari tarekat Ar-Rifaa’iyyah). Demikian juga dengan kitab Hayaatush Shahabah oleh Muhammad Yusuf Kandahlawiy. Kitab ini pun dipenuhi dengan khurafat-khurafat dan cerita-cerita bohong serta hadits-hadits dla’if dan maudlu’. Kedua kitab di atas yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Jama’ah Tabligh adalah masuk ke dalam kitab-kitab bid’ah dan syirik serta sesat.
Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, bahwa mereka telah membatasi Islam pada sebagian ibadah. Yang sebagian ini pun mereka penuhi dan mencampur-adukkan dengan berbagai macam bid’ah dan syirkiyyat. Mereka berpaling dari syari’at-syari’at Islam yang lain seperti tauhid, hukum, dan jihad dan lain-lain.
Mereka meninggalkan ilmu dan ahli ilmu. Mereka memperingati pengikut-pengikut mereka dari menuntut ilmu dan duduk di majelis para Ulama kecuali orang yang mendukung mereka. Dengan demikian meratalah dan tersebarlah kejahilan-kejahilan yang dalam di antara mereka dan hilangnya ilmu dari mereka. Oleh karena itu yang menjadi timbangan mereka di dalam memutuskan segala urusan ialah dengan jalan: Istihsan (menganggap baik sesuatu perbuatan tanpa dalil), perasaan, mimpi-mimpi dan karamah-karamah (yang pada hakikatnya wahyu dan bantuan dari syaithan).
Mereka mengajak manusia ke jalan Allah dan masuk ke dalam agama Allah tanpa ilmu sama sekali dan tanpa bashirah (hujjah dan dalil). Inilah dari sebesar-besar sebab yang membawa mereka menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus ke dalam lembah kesasatan bid’ah dan syirik. Bagaimana mungkin mereka mengajak manusia kepada sesuatu yang mereka tidak paham dan tidak mengetahuinya!? Lihatlah! Mereka 
mengajak kepada Islam dan mengikuti perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya padahal mereka tidak mengetahui dan memahaminya!? Sebenarnya merekalah yang lebih berhak dan sangat berhajat kepada Islam dan seluruh ajarannya dengan cara belajar dan mehaminya dari Ulama bukan mengajar atau berdakwah kepada manusia!
Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka selalu berdalil dengan hadits-hadits dha’if,sangat dha’ifmaudlu’/ palsu dan hadits-hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali (laa ashlaa lahu).
Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka telah membuat kelompok (firqah) yang menyendiri dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Mereka tidak mengajak kaum muslimin kecuali kepada firqah-nya baik secara manhaj, ilmu dan dakwah. Adanya imam tertinggi dan amir-amir dan bai’at yang ditegakkan di dalam firqah tabligh ini. Mereka mengajak kaum muslimin ke masjid-masjid dan markas-markas mereka untuk ijtima’ (berkumpul) umumnya sepekan sekali.
Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah berkumpulnya ratusan ribu jama’ah di Bangladesh pada setiap tahunnya. Di antara ijtima’ bid’iyyah ini keluarlah berbagai macam bid’ah i’tiqad dan amaliyyahyang begitu banyak dikerjakan oleh jama’ah tabligh. Sehingga sebagian dari mereka mengatakan berkumpulnya mereka di Dakka ibu kota Bangladesh pada setiap tahunnya lebih utama dari berkumpulnya jama’ah haji di Makkah. Mereka meyakini bahwa bahwa berdo’a pada akhir ijtima’di atas mustajab. Mereka meyakini bahwa akad nikah pada hari itu diberkati. Oleh karena itu sebagian dari mereka mengundurkan akad nikahnya sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperolah barakahnya.
sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperolah barakahnya.
Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah bahwa mereka mewajibkan taqlid dan bermanhaj dengan manhaj tashawwuf sebagaimana telah ditegaskan oleh salah seorang imam mereka yaitu Muhammad Zakaria pengarang kitab Tablighi Nishaab atau kitab Fadlaa-illul a’maal”…kami menganggap pada zaman ini taqlid itu wajib sebagaimana kami menganggap tashawwuf syar’i itu sedekat-sedekat jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka orang yang menyalahi kami dalam dua perkara di atas (taqlid dan tashawwuf) maka dia telah berlepas diri dari jama’ah kami…”(Jamaa’atut Tablligh, Aqaa-iduha, Ta’ri-fuha hal. 69 dan 70 oleh ustad Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman). Ini menunjukkan bahwa jama’ah tabligh dibina atas dasar taqlid dan tashawwuf.
Di antara bid’ah besar jama’ah tabligh ialah berdusta atas nama Allah salah seorang ima mereka yang bernama Muhammad Zakaria pengarang kitab Fadlaa-ilul a’maal dengan tegas mengatakan: Bahwa Allah telah menguatkan madzhab hanafi dan Jama’ah Tabligh!!! (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal. 91 oleh ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman).
Subhanallah! Sungguh ini satu dusta besar yang telah dibuat oleh Muhammad Zakaria atas nama Allah. Apakah Allah telah mewahyukan kepadanya setelah terputusnya wahyu bahwa Allah yang telahmenguatkan madzhab Hanafi dan Jama’ah tabligh!? Tidak syak lagi bagi ornag yang beriman bahwa Muhammad Zakaria telah mendapat wahyu dari syaithan.
Di antara bid’ah besar Jama’ah tabligh ialah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallamBerkata Muhammad Zakaria, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah membagi waktu menjadi tiga bagian: Sepertiga di dalam rumahnya bersama keluarganya, sepertiga mengirim jama’ah untuk tabligh dan sepertiga beliau menyendiri.” (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, Ta’rifuha hal. 92 dan 93 oleh Ustadz Abi Usamah Sayyid Thaaliburrahman). Subhanallah! Orang ini tidak punya rasa malu berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk menguatkan Jama’ah tablighnya yang sesat dan menyesatkan.
Di antara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa ketentuan dan ketetapan berdirinya Jama’ah Tabligh berdasarkan wahyu dari Allah yang Allah masukkan ke dalam hati pendiri jama’ah tabligh yaitu Muhammad Ilyas. (Jamaa’atut Tabligh, Aqaa-iduha, ta’rifuha hal 98 dan 99 oleh Ustadz Abi Usamah sayyid Thaaliburrahman). Oleh karena itu tidak boleh ada perubahan sedikitpun juga meskipun Ulama Ahlus Sunnah telah memperingatkan mereka akan kesesatan mereka.
-Selesai-
sumber : ibnuabbaskendari.wordpress.com

Kamis, 21 Mei 2015

Memahami Arti Tauhid

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Ibnu Sholeh Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa sesungguh banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi mereka menyembah Malaikat, menyembah para Nabi, menyembah orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi 3 aspek: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Nama dan Sifat Allah (Asma’ Wash-Shifat).

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan penyataan yang tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Tuhan, Raja, Pencipta semua makhluk. Dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Lihat Al Jadid Syarh Kitab Tauhid).

Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:
“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (Az Zukhruf: 87)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah,yang artinya hamba Allah. Padahal Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis yang atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Firqotun Najiyyah)

Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Lihat Al Jadid Syarh Kitab Tauhid). Dalilnya:
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah.

Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alas an diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

Maka perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Nama dan Sifat Allah adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dengan nama dan sifat yang telah Ia tetapkan bagi dirinya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Bertauhid nama dalam dan sifat Allah ialah dengan cara menetapkan nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi dirinya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari dirinya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya”(Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahirnya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak mau menetapkan pengertian sifat-sifat Allah, misalnya sebagian orang menolak bahwa Allah bersemayam (istiwa) di atas Arsy kemudian berkata ‘kita serahkan makna istiwa kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

Pentingnya mempelajari tauhid

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari.

Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah.

Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Lihat Syarh Ushulil Iman).

Tauhid Rububiyah Dan Pengakuan Orang-Orang Musyrik Terhadapnya

Oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan

Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya Nama-nama dan Sifat-sifatNya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: Tauhid Rububiyah , Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma’ wa Sifat. Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.

Makna Tauhid Rububiyah
Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu …” [Az-Zumar: 62]

Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, …” [Hud : 6]

Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” [Ali Imran: 26-27]

Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah …” [Luqman: 11]

“Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?” [Al-Mulk: 21]

Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-Fatihah: 2]

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-A'raf: 54]

Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya.
“Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mu'minun: 86-89]

Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah:
“Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” [Ibrahim: 10]

Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam kepadanya:
“Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa”. [Al-Isra': 102]

Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” [An-Naml: 14]

Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempengaruhinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).”[Ath-Thur: 35-36]

Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.

Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya.

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq]http://www.almanhaj.or.id/content/1978/slash/0

Tauhid Uluhiyyah

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Artinya, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah.

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1]

Al-Ilah artinya al-Ma’luh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia. Yang Mahapemurah lagi Maha-penyayang” [Al-Baqarah: 163]

Berkata Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah (wafat th. 1376 H): “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Tidak boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya[2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Allah menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain-Nya, Yang Maha-perkasa lagi Mahabijaksana” [Ali ‘Imran: 18]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, Uzza dan Manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak diberi hak Uluhiyah:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya…”[An-Najm: 23]

Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla.
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar” [Al-Hajj: 62]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'alaihis Sallam yang berkata kepada kedua temannya di penjara:
“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…”[Yusuf: 39-40]

Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimus Salam berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja[3]

“Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)” [ Al-Mukminuun: 32]

Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti.

Pertama.
Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” [Al-Fur-qaan: 3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit. Dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat..”[Saba’: 22-23]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” [Al-A’raaf: 191-192]

Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.

Kedua:
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyah (beribadah hanya kepada Allah saja).
“Hai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”[Al-Baqarah: 21-22]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fathul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[2]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fathul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[3]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63, cet. Mak-tabah al-Ma’arif , 1420 H). http://www.almanhaj.or.id/content/1587/slash/0

Tauhid Al-Asma’ Wash-Shifat

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita'wil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’iy, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu).”[1]

Imam Asy-Syafi’ Rahimahullah berkata:
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah"[2]

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya”

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat" [Asy-Syuura':11]

Lafazh ayat : “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.

Sedangkan lafazh ayat : “Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah.

‘Itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:

Pertama.
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.

Kedua.
Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.[7]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menyelewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kedudukan yang semestinya, tidak mengingkari tentang Asma’ (Nama-Nama) dan ayat-ayatNya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat diqiaskan dengan makhluk-Nya.

Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan selain Diri-Nya. Dialah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mahasuci Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam."[Ash-Shaffat: 180-182]

Allah Jalla Jalaluhu dalam ayat ini mensucikan diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul, karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]

Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menuturkan Sifat dan Asma’Nya, memadukan antara an-Nafyu wal Itsbat (menolak dan menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin[10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-Uluw lil Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih.
[2]. Lihat Lum¡’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
[3]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur’an atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5]. Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?”. Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya, karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[6]. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah (I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah al-Wasithiyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihat al-Lathifah ala Mahtawat alaihil Aqidah al-Wasithiyah (hal 15-18) oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah an Ma’anil Wasithiyah oleh Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[7]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9]. Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam al-Qur’an secara garis besarnya menolak adanya kesamaan atau keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Dan nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah, misalnya disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat QS. An-Nisaa¡’ 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.