Nusantara
telah lama dikenal oleh dunia sebagai wilayah yang teramat kaya. Dan
bukan kebetulan jika kaum Kabbalis sudah mengadakan kontak dengan
wilayah ini, baik di zaman Fir’aun maupun Raja Sulaiman. Wilayah yang
oleh Profesor Arysio Santos des Nunes dianggap sebagai pewaris peradaban
Atlantis ini menjadi primadona bangsa-bangsa imperalis seperti Spanyol,
Portugis, Inggris, Belanda, dan tentu saja kemudian Amerika Serikat.
Sejarah sudah memaparkan dengan gamblang betapa Nusantara
yang kemudian namanya diubah menjadi Indonesia mengalami berbagai
gejolak ekonomi maupun politis. Bung Karno yang sangat anti terhadap
kaum imperialis ditumbangkan pada tahun 1965 dan diganti oleh ‘boneka
globalis’ bernama Jenderal Suharto. Kekayaan Indonesia pun dihisap
habis-habisan oleh asing, sedangkan Jenderal Suharto dan kroninya
mendapat ‘recehan’nya sehingga mereka, keluarga, dan golongannya pun
tumbuh menjadi elit baru di Indonesia.
Dan seperti nasib ‘boneka-boneka’ globalis lainnya, ketika
sudah tidak lagi berguna maka dicampakkan, demikian yang dialami
Suharto. Tahun 1997-1998 kaum Globalis melalui kaki tangannya
mengguncang pasar moneter Asia Tenggara. Indonesia bergejolak. Dan
akhirnya Suharto dipaksa menyerahkan kekuasaannya. Habibie naik,
berkuasa sebentar kemudian diganti oleh Abdurahman Wahid, lalu Megawati,
lalu Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang tidak dipaparkan dengan jujur oleh sejarah adalah apa
yang terjadi di belakang setiap pergantian kekuasaan. Tumbangnya
Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto, lalu jatuhnya Suharto setelah
berkuasa selama tigapuluh tahun lebih, bisa dijadikan cermin yang baik
apa yang sesungguhnya terjadi. Rakyat selama ini dibohongi atas nama
demokrasi dan isme-isme lainnya.
Naiknya Suharto dan Sistem yang Korup
Tahapan kudeta kaum globalis terhadap Presiden Soekarno
sekarang sudah menjadi rahasia umum. Amerika sebagai kendaraan besar
kaum globalis sudah berkali-kali mencoba membunuh sosok Bung Karno namun
tidak berhasil, bahkan salah seorang agen CIA bernama Allan Pope
berhasil ditangkap hidup-hidup.
Akhirnya kaum globalis merancang suatu kudeta sistematis
yang telah dimulai pada tahun 1950-an dan puncaknya terjadi pada dini
hari, 1 Oktober 1965, yang ujung-ujungnya berhasil menumbangkan Soekarno
dari kursi kekuasaannya.
Presiden AS Richard Nixon meluapkan kegembiraan atas
jatuhnya Soekarno dengan menyebutnya sebagai “Terbukanya peti harta
karun terbesar dari Asia”.
Jatuhnya Soekarno juga dirayakan besar-besaran dalam
pertemuan tahunan (rahasia) kelompok Bilderberger tahun 1968, tanggal
26-28 April di Mont Tremblant-Canada. Dalam pertemuan tersebut,
Rockefeller menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar bagi The New World
Order”.
Setiap ada ‘boneka’ baru yang naik menjadi presiden,
Amerika selalu mengutus orangnya untuk memberi petunjuk apa saja yang
harus dilakukan boneka tersebut, sekaligus memperingatkannya jika boneka
tersebut tidak mau patuh. John Perkins, mantan Bandit-Ekonomi, menulis
hal ini dalam bukunya:
“Aku memasuki kantor presiden dua hari setelah dia
terpilih dan memberinya ucapan selamat. Ia duduk di belakang meja
besarnya sambil tersenyum lebar padaku seperti kucing Cheshire…
Aku merogoh saku dengan tangan kiri dan berkata: “Tuan
Presiden, ada beberapa ratus juta dollar dalam sakuku untuk Anda dan
keluarga jika Anda mengikuti permainan.., Anda tahu, berbaik-baiklah
dengan teman-temanku yang menjalankan perusahaan minyak, perlakukan
Paman Sam dengan baik.”
Lalu aku melangkah lebih dekat, merogoh tangan kananku ke
saku yang lain, membungkuk di depan wajahnya, dan berbisik, “Di sini,
ada pistol dan peluru dengan nama Anda—buat berjaga-jaga siapa tahu Anda
ingin memenuhi janji kampanye Anda…”
Aku melangkah mundur, duduk, dan membacakan secarik daftar
kecil untuknya, isinya nama presiden-presiden yang dibunuh atau
digulingkan karena menentang Paman Sam: Dari Diem hingga Noriega—Anda
pasti tahu, tindakan rutin.
Dia memahami pesanku dengan sangat baik!”
Patut digaris-bawahi: Setiap ada presiden dari ‘negara
jajahan’ atau ‘client’ dari Washington, maka setiap itu pula Washington
akan mengirim langsung utusannya kepada penguasa baru dan mengatakan
hal-hal tersebut di atas. Tidak terkecuali di Indonesia, dimana sekarang
ini pemerintahnya sudah terjerat batang lehernya dengan utang luar
negeri kepada kaum globalis sebesar 3.000 triliun lebih! Angka ini terus
melambung setiap harinya.
Jenderal Suharto merupakan pelayan yang sangat baik bagi
kekuatan globalis yang hendak menjajah kembali Indonesia. Ini dikatakan
dengan tegas oleh John Perkins. Selama tigapuluh tahun lebih masa
kekuasaannya, Indonesia dirampok habis-habisan kekayaannya. Negeri yang
sangat kaya ini dililit utang dengan jumlah luar biasa besarnya. Dan
celakanya, utang-utang tersebut tidak sungguh-sungguh digunakan untuk
membangun negeri, namun sebagiannya masuk ke dalam pundi-pundi Suharto,
keluarga, dan kelompoknya.
Ketika Suharto sudah dianggap tidak berguna lagi. Ini
terjadi pada akhir tahun 1980-an, Washington segera melancarkan operasi
penggulingannya lewat krisis moneter. Suharto terguling, namun sayangnya
sistem korup yang diciptakannya ternyata masih eksis.
Sejumlah tokoh Indonesia yang naik menggantikannya tidak
mampu membasmi sistem korup yang sudah mengurat-akar sepanjang tigapuluh
tahun pemerintahan Orde Baru. Bahkan korupsi makin menjadi-jadi. Ibarat
kata, jika di masa Suharto korupsi dilakukan di bawah meja, maka
sekarang ini mejanya ikut-ikutan dikorupsi!
Kisah Cakil, Ilusi Demokrasi
Turunnya Suharto disambut dengan penuh sukacita oleh
hampir seluruh anak bangsa ini. Era keterbukaan dimulai. Demokrasi
menjadi istilah ajaib yang mampu menyihir banyak kalangan. Partai
politik pun bermunculan bagai jamur di musim penghujan. Bangsa Indonesia
pun disibukkan setiap tahun dengan berbagai macam pemilihan umum, dari
pemilihan tingkat kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislatif
dan presiden. Bahkan di banyak tempat, pemilihan Ketua RT/RW juga
dilakukan mengikut cara kampanye pemilihan umum.
Tampak dari luar, cara seperti ini dianggap sangat
demokratis. Namun mereka lupa jika cara pemilihan seperti ini terlalu
banyak menguras energi dari rakyat secara keseluruhan. Energi bangsa
tersedot hanya untuk mengurusi pemilihan ini dan itu, jalan-jalan kota
hingga kampung dipenuhi sampah visual berupa spanduk dan poster
calon-calon kepala desa, legislatif, hingga presiden dan wakilnya. Kota
metropolitan seperti Jakarta pun tak ubahnya kota pemulung yang dipenuhi
pamflet dan spanduk yang bertebaran di sekujur tubuhnya.
Di era demokrasi seperti sekarang ini, partai politik
merupakan gerbong utama menuju perubahan. Di atas kertas, yang dikatakan
para aktivis parpol adalah perubahan bangsa Indonesia ke arah yang jauh
lebih baik. Namun pada kenyataannya, faktanya, yang terjadi hanyalah
perubahan pada tingkat elit parpol. Yang tadinya hanya menghuni rumah
kontrakkan, sekarang sudah punya belasan apartemen, kendaraan mewah,
tanah berhektar-hektar, dan sebagainya. Yang seperti ini banyak.
Di sisi lain, aktivis parpol kelas bawah, hidupnya tidak
pernah berubah. Mereka terus setia menjadi aktivis parpol dengan harapan
hidupnya bisa ikutan berubah seperti para elit parpolnya. Mereka
mengharapkan kenaikan tingkat dalam strata parpol. Selama mereka belum
‘naik kelas’, mereka memamah remah-remah, makanan sisa, dari uang yang
bersliweran di sekitar elitnya. Ini faktanya.
Ada kisah seorang aktivis parpol yang sekarang sudah
menjadi elit parpol, sebut saja namanya Cakil. Dalam tulisan berikut
akan dipaparkan kisahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar