Selasa, 23 Desember 2014

Indonesia, Illuminati, dan Masa Depan Kita (5)

Nusantara telah lama dikenal oleh dunia sebagai wilayah yang teramat kaya. Dan bukan kebetulan jika kaum Kabbalis sudah mengadakan kontak dengan wilayah ini, baik di zaman Fir’aun maupun Raja Sulaiman. Wilayah yang oleh Profesor Arysio Santos des Nunes dianggap sebagai pewaris peradaban Atlantis ini menjadi primadona bangsa-bangsa imperalis seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan tentu saja kemudian Amerika Serikat.
Sejarah sudah memaparkan dengan gamblang betapa Nusantara yang kemudian namanya diubah menjadi Indonesia mengalami berbagai gejolak ekonomi maupun politis. Bung Karno yang sangat anti terhadap kaum imperialis ditumbangkan pada tahun 1965 dan diganti oleh ‘boneka globalis’ bernama Jenderal Suharto. Kekayaan Indonesia pun dihisap habis-habisan oleh asing, sedangkan Jenderal Suharto dan kroninya mendapat ‘recehan’nya sehingga mereka, keluarga, dan golongannya pun tumbuh menjadi elit baru di Indonesia.
Dan seperti nasib ‘boneka-boneka’ globalis lainnya, ketika sudah tidak lagi berguna maka dicampakkan, demikian yang dialami Suharto. Tahun 1997-1998 kaum Globalis melalui kaki tangannya mengguncang pasar moneter Asia Tenggara. Indonesia bergejolak. Dan akhirnya Suharto dipaksa menyerahkan kekuasaannya. Habibie naik, berkuasa sebentar kemudian diganti oleh Abdurahman Wahid, lalu Megawati, lalu Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang tidak dipaparkan dengan jujur oleh sejarah adalah apa yang terjadi di belakang setiap pergantian kekuasaan. Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto, lalu jatuhnya Suharto  setelah berkuasa selama tigapuluh tahun lebih, bisa dijadikan cermin yang baik apa yang sesungguhnya terjadi. Rakyat selama ini dibohongi atas nama demokrasi dan isme-isme lainnya.
Naiknya Suharto dan Sistem  yang Korup
Tahapan kudeta kaum globalis terhadap Presiden Soekarno sekarang sudah menjadi rahasia umum. Amerika sebagai kendaraan besar kaum globalis sudah berkali-kali mencoba membunuh sosok Bung Karno namun tidak berhasil, bahkan salah seorang agen CIA bernama Allan Pope berhasil ditangkap hidup-hidup.
Akhirnya kaum globalis merancang suatu kudeta sistematis yang telah dimulai pada tahun 1950-an dan puncaknya terjadi pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang ujung-ujungnya berhasil menumbangkan Soekarno dari kursi kekuasaannya.
Presiden AS Richard Nixon meluapkan kegembiraan atas jatuhnya Soekarno dengan menyebutnya sebagai “Terbukanya peti harta karun terbesar dari Asia”.
Jatuhnya Soekarno juga dirayakan besar-besaran dalam pertemuan tahunan (rahasia) kelompok Bilderberger tahun 1968, tanggal 26-28 April di Mont Tremblant-Canada. Dalam pertemuan tersebut, Rockefeller menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar bagi The New World Order”.
Setiap ada ‘boneka’ baru yang naik menjadi presiden, Amerika selalu mengutus orangnya untuk memberi petunjuk apa saja yang harus dilakukan boneka tersebut, sekaligus memperingatkannya jika boneka tersebut tidak mau patuh. John Perkins, mantan Bandit-Ekonomi, menulis hal ini dalam bukunya:
“Aku memasuki kantor presiden dua hari setelah dia terpilih dan memberinya ucapan selamat. Ia duduk di belakang meja besarnya sambil tersenyum lebar padaku seperti kucing Cheshire…
Aku merogoh saku dengan tangan kiri dan berkata: “Tuan Presiden, ada beberapa ratus juta dollar dalam sakuku untuk Anda dan keluarga jika Anda mengikuti permainan.., Anda tahu, berbaik-baiklah dengan teman-temanku yang menjalankan perusahaan minyak, perlakukan Paman Sam dengan baik.”
Lalu aku melangkah lebih dekat, merogoh tangan kananku ke saku yang lain, membungkuk di depan wajahnya, dan berbisik, “Di sini, ada pistol dan peluru dengan nama Anda—buat berjaga-jaga siapa tahu Anda ingin memenuhi janji kampanye Anda…”
Aku melangkah mundur, duduk, dan membacakan secarik daftar kecil untuknya, isinya nama presiden-presiden yang dibunuh atau digulingkan karena menentang Paman Sam: Dari Diem hingga Noriega—Anda pasti tahu, tindakan rutin.
Dia memahami pesanku dengan sangat baik!”
Patut digaris-bawahi: Setiap ada presiden dari ‘negara jajahan’ atau ‘client’ dari Washington, maka setiap itu pula Washington akan mengirim langsung utusannya kepada penguasa baru dan mengatakan hal-hal tersebut di atas. Tidak terkecuali di Indonesia, dimana sekarang ini pemerintahnya sudah terjerat batang lehernya dengan utang luar negeri kepada kaum globalis sebesar 3.000 triliun lebih! Angka ini terus melambung setiap harinya.
Jenderal Suharto merupakan pelayan yang sangat baik bagi kekuatan globalis yang hendak menjajah kembali Indonesia. Ini dikatakan dengan tegas oleh John Perkins. Selama tigapuluh tahun lebih masa kekuasaannya, Indonesia dirampok habis-habisan kekayaannya. Negeri yang sangat kaya ini dililit utang dengan jumlah luar biasa besarnya. Dan celakanya, utang-utang tersebut tidak sungguh-sungguh digunakan untuk membangun negeri, namun sebagiannya masuk ke dalam pundi-pundi Suharto, keluarga, dan kelompoknya.
Ketika Suharto sudah dianggap tidak berguna lagi. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an, Washington segera melancarkan operasi penggulingannya lewat krisis moneter. Suharto terguling, namun sayangnya sistem korup yang diciptakannya ternyata masih eksis.
Sejumlah tokoh Indonesia yang naik menggantikannya tidak mampu membasmi sistem korup yang sudah mengurat-akar sepanjang tigapuluh tahun pemerintahan Orde Baru. Bahkan korupsi makin menjadi-jadi. Ibarat kata, jika di masa Suharto korupsi dilakukan di bawah meja, maka sekarang ini mejanya ikut-ikutan dikorupsi!
Kisah Cakil, Ilusi Demokrasi
Turunnya Suharto disambut dengan penuh sukacita oleh hampir seluruh anak bangsa ini. Era keterbukaan dimulai. Demokrasi menjadi istilah ajaib yang mampu menyihir banyak kalangan. Partai politik pun bermunculan bagai jamur di musim penghujan. Bangsa Indonesia pun disibukkan setiap tahun dengan berbagai macam pemilihan umum, dari pemilihan tingkat kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislatif dan presiden. Bahkan di banyak tempat, pemilihan Ketua RT/RW juga dilakukan mengikut cara kampanye pemilihan umum.
Tampak dari luar, cara seperti ini dianggap sangat demokratis. Namun mereka lupa jika cara pemilihan seperti ini terlalu banyak menguras energi dari rakyat secara keseluruhan. Energi bangsa tersedot hanya untuk mengurusi pemilihan ini dan itu, jalan-jalan kota hingga kampung dipenuhi sampah visual berupa spanduk dan poster calon-calon kepala desa, legislatif, hingga presiden dan wakilnya. Kota metropolitan seperti Jakarta pun tak ubahnya kota pemulung yang dipenuhi pamflet dan spanduk yang bertebaran di sekujur tubuhnya.
Di era demokrasi seperti sekarang ini, partai politik merupakan gerbong utama menuju perubahan. Di atas kertas, yang dikatakan para aktivis parpol adalah perubahan bangsa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik. Namun pada kenyataannya, faktanya, yang terjadi hanyalah perubahan pada tingkat elit parpol. Yang tadinya hanya menghuni rumah kontrakkan, sekarang sudah punya belasan apartemen, kendaraan mewah, tanah berhektar-hektar, dan sebagainya. Yang seperti ini banyak.
Di sisi lain, aktivis parpol kelas bawah, hidupnya tidak pernah berubah. Mereka terus setia menjadi aktivis parpol dengan harapan hidupnya bisa ikutan berubah seperti para elit parpolnya. Mereka mengharapkan kenaikan tingkat dalam strata parpol. Selama mereka belum ‘naik kelas’, mereka memamah remah-remah, makanan sisa, dari uang yang bersliweran di sekitar elitnya. Ini faktanya.
Ada kisah seorang aktivis parpol yang sekarang sudah menjadi elit parpol, sebut saja namanya Cakil. Dalam tulisan berikut akan dipaparkan kisahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar