Minggu, 10 Agustus 2014

ISIS bukan Ancaman Nasional Sesungguhnya

Jika kita cermati secara obyektif maka ada penyikapan kebijakan berbeda antara isu yang terkait dengan Islam dan Non Islam. Terlepas dari benar tidaknya atau setuju tidaknya keberadaan ISIS. Secara faktual perlakuan terhadap mereka yang terkait dengan ISIS sebagai representasi entitas islam sangat berlebihan. Apalagi hal ini dikaitkan dengan bagian dari strategi war on terrorism yang memiliki basis filosofis yang sama dengan negara pencipta sekaligus pengusungnya AS. Di antara ragam berbagai kemungkinan skenario munculnya ISIS sebagai headline opini internasional. Apakah sebagai sebuah gerakan islam mewujud menjadi Islamic State murni yang lepas dari skenario barat. Atau bentukan/rekayasa barat. Jika melihat pro kontra keberadaan perjuangannya secara internal umat islam sendiri. Yang jelas barat AS mengambil keuntungan di tengah situasi ini. Baik untuk kepentingan adu domba maupun black campaign. Apalagi kemudian ditarik untuk kepentingan desain opini nasional dengan momentum puluhan orang yang berangkat ke Suriah bergabung dengan ISIS. Dimana sejak awal nampaknya ada sekitar 30 orang yang sudah dikantongi BNPT disinyalir berangkat jihad ke Suriah. Sebelumnya sekitar 56 orang versi Polri Jendral Sutarman. Sementara klaim data 2 juta yang dinyatakan sudah berbaiat sebagaimana diekspose oleh media tidak jelas infonya.
Treatment pada fenomena gerakan islam ini sangat berbeda jika kita melihat pada gerakan non islam semisal gerakan kapitalisme sekulerisme dan gerakan sosialisme komunisme di negeri ini. Seolah gerakan dengan basis kapitalisme sekulerisme dan sosialisme komunisme sudah inheren dengan pilar-pilar negara. Tidak masalah bagi NKRI jika mau dijadikan Negara Kapitalis atau Komunis Republik Indonesia. Asal bukan Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah.
Indikator itu ditunjukkan oleh berapa banyak tokoh komunis di belakang Jokowi dan berapa banyak pula tokoh sekuler liberalis yang memegang kunci kebijakan bernaung di bawah bendera demokrasi. Sementara sejarah dan fakta kekinian mencatat dan menunjukkan bukti kesewenang-wenangan AS-Israel higga kini bersama sekutu-sekutu menciptakan berbagai persoalan di berbagai negara terutama negeri-negeri muslim. Dengan cara intervensi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan juga invasi militer atas nama mewujudkan stabilitas perdamaian dunia melalui PBB. Dunia seolah menutup mata atas berbagai standart ganda oleh AS bersama sekutu-sekutunya. Yang paling nyata adalah pada kasus invasi militer Israel ke Gaza. Di balik Israel ada AS yang memback up secara langsung maupun tidak langsung genocida atas masyarakat Gaza Palestina. Tetapi gambaran kebengisan dan kekejaman AS dan Israel itu tidak lebih berbahaya dibanding dengan gambaran kebengisan dan kekejaman ISIS yang seolah digambarkan sebagai representasi dari semua entitas gerakan islam.
Berbeda dengan gerakan kapitalis liberalis maka catatan sejarah tentang negara sosialis komunis juga sudah kita pahami bersama. Dan ancaman nyata intervensi asing dibawah komando AS di negeri ini di setiap moment kebijakan nasional terutama melalui pintu legislasi termasuk dugaan intervensi pada pilpres dianggap sepi saja dibanding ancaman dukungan ISIS yang terlalu dibesar-besarkan oleh media. Ibarat seperti “pempesan kosong”dukungan atas ISIS itu sejatinya “ibarat suara harimau dari suara kucing yang dimicrophone”. Jika mau affair kompetisi antar gerakan dengan latar belakang basis ideologi yang berbeda mestinya tidak usah menggunakan cara-cara yang “tidak gentle”. Tidak usah sembunyi-sembunyi di balik klaim pilar-pilar negara. Beradu konsep secara obyektif. Tidak usah menggunakan cara-cara operasi intelijen yang sarat dengan adu domba dan intimidasi. Gerakan sosialis komunis muncul dan akui saja agenda untuk mendirikan negara sosialis komunis. Gerakan kapitalis liberalis akui saja agenda untuk mendirikan negara seperti Amerika dan Eropa. Gerakan islam sebagian sudah muncul keinginan untuk mendirikan negara islam. Dan semuanya sah-sah saja dalam konteks demokrasi. Tinggal bagaimana semuanya bisa didialogkan dan diuji mana yang lebih representatif. Dan sejalan dengan pilar-pilar negara. Adapun pengambil kebijakan negara harus open mind dan obyektif terhadap berbagai kemungkinan mana diantaranya yang terbaik. Karena semuanya ditujukan untuk menemukan dan merumuskan bagaimana formulasi memecahkan problem sistemik bangsa.
Janganlah beban berat masyarakat diperparah dengan banyaknya intrik, rekayasa, teror, monsterisasi, kriminalisasi politik terhadap entitas islam yang hanya akan berujung pada menambah keresahan dan tekanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas muslim. Problem sengketa pilpres, berbagai produk kebijakan berpihak asing, biaya politik pesta pemilu (pileg dan pilpres) yang membumbung tinggi berpotensi melahirkan pejabat dan anggota dewan korup, pengangguran dan kemiskinan menggurita dan lain-lain adalah ancaman nasional sesungguhnya. Bukan euforia dukungan atas ISIS yang terlalu dibesar-besarkan. Wallahu a’lam bis shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar