Jika kita cermati secara obyektif maka ada penyikapan
kebijakan berbeda antara isu yang terkait dengan Islam dan Non Islam.
Terlepas dari benar tidaknya atau setuju tidaknya keberadaan ISIS.
Secara faktual perlakuan terhadap mereka yang terkait dengan ISIS
sebagai representasi entitas islam sangat berlebihan. Apalagi hal ini
dikaitkan dengan bagian dari strategi war on terrorism yang memiliki
basis filosofis yang sama dengan negara pencipta sekaligus pengusungnya
AS. Di antara ragam berbagai kemungkinan skenario munculnya ISIS sebagai
headline opini internasional. Apakah sebagai sebuah gerakan islam
mewujud menjadi Islamic State murni yang lepas dari skenario barat. Atau
bentukan/rekayasa barat. Jika melihat pro kontra keberadaan
perjuangannya secara internal umat islam sendiri. Yang jelas barat AS
mengambil keuntungan di tengah situasi ini. Baik untuk kepentingan adu
domba maupun black campaign. Apalagi kemudian ditarik untuk kepentingan
desain opini nasional dengan momentum puluhan orang yang berangkat ke
Suriah bergabung dengan ISIS. Dimana sejak awal nampaknya ada sekitar 30
orang yang sudah dikantongi BNPT disinyalir berangkat jihad ke Suriah.
Sebelumnya sekitar 56 orang versi Polri Jendral Sutarman. Sementara
klaim data 2 juta yang dinyatakan sudah berbaiat sebagaimana diekspose
oleh media tidak jelas infonya.
Treatment pada fenomena gerakan islam ini sangat berbeda
jika kita melihat pada gerakan non islam semisal gerakan kapitalisme
sekulerisme dan gerakan sosialisme komunisme di negeri ini. Seolah
gerakan dengan basis kapitalisme sekulerisme dan sosialisme komunisme
sudah inheren dengan pilar-pilar negara. Tidak masalah bagi NKRI jika
mau dijadikan Negara Kapitalis atau Komunis Republik Indonesia. Asal
bukan Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah.
Indikator itu ditunjukkan oleh berapa banyak tokoh komunis
di belakang Jokowi dan berapa banyak pula tokoh sekuler liberalis yang
memegang kunci kebijakan bernaung di bawah bendera demokrasi. Sementara
sejarah dan fakta kekinian mencatat dan menunjukkan bukti
kesewenang-wenangan AS-Israel higga kini bersama sekutu-sekutu
menciptakan berbagai persoalan di berbagai negara terutama negeri-negeri
muslim. Dengan cara intervensi politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Bahkan juga invasi militer atas nama mewujudkan stabilitas perdamaian
dunia melalui PBB. Dunia seolah menutup mata atas berbagai standart
ganda oleh AS bersama sekutu-sekutunya. Yang paling nyata adalah pada
kasus invasi militer Israel ke Gaza. Di balik Israel ada AS yang memback
up secara langsung maupun tidak langsung genocida atas masyarakat Gaza
Palestina. Tetapi gambaran kebengisan dan kekejaman AS dan Israel itu
tidak lebih berbahaya dibanding dengan gambaran kebengisan dan kekejaman
ISIS yang seolah digambarkan sebagai representasi dari semua entitas
gerakan islam.
Berbeda dengan gerakan kapitalis liberalis maka catatan
sejarah tentang negara sosialis komunis juga sudah kita pahami bersama.
Dan ancaman nyata intervensi asing dibawah komando AS di negeri ini di
setiap moment kebijakan nasional terutama melalui pintu legislasi
termasuk dugaan intervensi pada pilpres dianggap sepi saja dibanding
ancaman dukungan ISIS yang terlalu dibesar-besarkan oleh media. Ibarat
seperti “pempesan kosong”dukungan atas ISIS itu sejatinya “ibarat suara
harimau dari suara kucing yang dimicrophone”. Jika mau affair kompetisi
antar gerakan dengan latar belakang basis ideologi yang berbeda mestinya
tidak usah menggunakan cara-cara yang “tidak gentle”. Tidak usah
sembunyi-sembunyi di balik klaim pilar-pilar negara. Beradu konsep
secara obyektif. Tidak usah menggunakan cara-cara operasi intelijen yang
sarat dengan adu domba dan intimidasi. Gerakan sosialis komunis muncul
dan akui saja agenda untuk mendirikan negara sosialis komunis. Gerakan
kapitalis liberalis akui saja agenda untuk mendirikan negara seperti
Amerika dan Eropa. Gerakan islam sebagian sudah muncul keinginan untuk
mendirikan negara islam. Dan semuanya sah-sah saja dalam konteks
demokrasi. Tinggal bagaimana semuanya bisa didialogkan dan diuji mana
yang lebih representatif. Dan sejalan dengan pilar-pilar negara. Adapun
pengambil kebijakan negara harus open mind dan obyektif terhadap
berbagai kemungkinan mana diantaranya yang terbaik. Karena semuanya
ditujukan untuk menemukan dan merumuskan bagaimana formulasi memecahkan
problem sistemik bangsa.
Janganlah beban berat masyarakat diperparah dengan
banyaknya intrik, rekayasa, teror, monsterisasi, kriminalisasi politik
terhadap entitas islam yang hanya akan berujung pada menambah keresahan
dan tekanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas muslim.
Problem sengketa pilpres, berbagai produk kebijakan berpihak asing,
biaya politik pesta pemilu (pileg dan pilpres) yang membumbung tinggi
berpotensi melahirkan pejabat dan anggota dewan korup, pengangguran dan
kemiskinan menggurita dan lain-lain adalah ancaman nasional
sesungguhnya. Bukan euforia dukungan atas ISIS yang terlalu
dibesar-besarkan. Wallahu a’lam bis shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar