Jumat, 26 April 2013

Siapa Bilang Malam Nisfu Sya'ban itu Bid'ah? (Kupas Tuntas Hukum Nisfu Sya'ban)

8 Juli 2011 Diposkan oleh Jundullah Abdurrahman Askarillah di 22.50

Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat. Amma ba'du:
Sesungguhnya Allah telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)
"Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhai Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." (QS. Asy-Syura': 21)
 Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda,"Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak." (HR. Bukhari)
Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak." Dalam Shahih Muslim dari Jabir Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan.

Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhah Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'. Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa': "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisaa': 59) 
 "Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." (QS. Asy-Syuraa: 10) 
 "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya." (QS. An-Nisaa' : 65) 

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits). Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka. Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah.

Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat: Yang pertama, menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid'ah."

Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany. Yang kedua, berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui." Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya.

Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya). Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi: "Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya
. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah. Al-'Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits: "Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya." Hadits ini adalah maudhu' (palsu), pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali Shallallahu 'alaihi wa sallam : Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul (tidak diketahui) dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent). Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .

Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat Radhiyallahu 'anhu . Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." (HR. Muslim)
 Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah yang shahih. Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/
menunjukkan atas kekhususannya.

Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwasanya beliau bersabda: "Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat." (HR. Bukhari dan Muslim) Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri.

Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi. Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab.

Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan; Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah. Allah-lah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

Rujukan: Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H. Read more: http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2011/07/siapa-bilang-malam-nisfu-syaban-itu.html#ixzz2RYmXlwIG

Sabtu, 20 April 2013

KEYAKINAN KARTINI

Keyakinan Kartini dalam Sorotan Adityanugroho – Sabtu, 9 Jumadil Akhir 1434 H / 20 April 2013 10:00 WIB Oleh: Artawijaya* Ketika penulis melansir beberapa tulisan terkait Raden Ajeng Kartini, beberapa pembaca banyak mengajukan pertanyaan, bahkan sanggahan. Kebanyakan dari tanggapan itu menganggap penulis terlalu tendensius dalam memandang sosok Kartini, terlalu terbuai teori konspirasi, dan mempunyai motif tertentu dalam mengeritik sosok pahlawan nasional tersebut. Atas pertanyaan dan sanggahan tersebut, penulis nyatakan bahwa apa yang penulis lakukan adalah upaya untuk menuliskan sejarah secara jujur, sejarah yang berangkat dari fakta-fakta yang ada, bukan sejarah yang ditulis oleh tinta penguasa. Jika pun ada motif tertentu, maka penulis harus akui bahwa motif itu adalah upaya untuk membongkar selubung “de-islamisasi fakta sejarah” yang selama ini terjadi dalam sejarah nasional kita. De- islamisasi yang dimaksud adalah upaya memarjinalkan peran umat Islam dalam sejarah pergerakan nasional di negeri ini. Penulis hanya memaparkan sisi lain Kartini, yang mungkin belum pernah ditulis dalam buku-buku sejarah ( text book) yang diajarkan di sekolah-sekolah kita. Jika sejarah nasional selama ini menulis kiprah Kartini sebagai ikon kemajuan perempuan Indonesia yang tercermin dalam surat-suratnya, maka penulis berusaha menguak sisi lain tentang Kartini secara personal, diantaranya pandangan keagamannya, latarbelakang pemikirannya, dan siapa saja orang yang berinteraksi secara intim dengannya. Setelah itu, silakan pembaca sekalian menimbang dengan jernih tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam penulisan sejarah nasional negeri ini. Penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai sosok yang anti-Islam. Bahkan penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai anggota Theosofi, sebuah aliran kebatinan Yahudi yang pada era 1900-an di Jawa begitu pesat berkembang. Penulis hanya menyatakan, isi surat-surat Kartini kepada para sahabatnya yang kebanyakan elit-elit Belanda, sangat kental dengan pemikiran dan paham Theosofi. Diantaranya paham tentang pluralisme agama, paham tentang Tuhan, dan tentang amal manusia. Kumpulan surat menyurat Kartini diterbitkan oleh Kartini Fonds pada 1911 di negeri Belanda, sementara Kartini meninggal pada 1904. Jika ada yang mengatakan bahwa kumpulan surat menyurat Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” karena Kartini terinspirasi dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Minazhzhulumaati ilaannur” , maka sesungguhnya judul itu bukanlah dari Kartini, melainkan judul yang dibuat oleh Armijn Pane, sastrawan yang juga anggota Theosofi. Sementara judul berbahasa Belanda “Door Duisternis tot Licht” yang diartikan oleh Armijn Pane dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah judul yang diberikan oleh Abendanon. Abendanon sendiri mengaku mengambil judul itu dari sebuah syair yang dikutip oleh Kartini dari seorang wanita tua, yang berbunyi, “Habis malam terbitlah terang Habis badai datanglah damai Habis juang sampailah menang Habis duka tibalah suka..” (Surat kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902) Apakah ada pernyataan dari Kartini bahwa istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang” berasal dari ayat Al-Qur’an? Pada kenyataannya, istilah “habis gelap menuju terang” juga digunakan oleh kelompok Freemason ketika membaiat anggota barunya, dengan mengatakan, “Kalian berada dalam zhulumat (kegelapan), sekarang kami bawa ke dalam cahaya.” dan pada masa lalu, kelompok rahasia Illuminati di Hindia Belanda juga disebut sebagai “Kelompok Cahaya” (Lihat, A.D El Marzededeq, Jaringan Gelap Freemasonry dan Perkembangannya sampai ke Indonesia , Bandung: Syamil, 2007 dan Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam , Bandung:Gema Syahidah, 1993) Ada yang menyebut pandangan keagamaan Kartini sudah berubah, dari kebatinan-sinkretis ala Theosofi kepada keyakinan Islam yang sesungguhnya karena pertemuannya dengan Kiai Soleh Darat di Demak. Meskipun tak ada keterangan pasti mengenai seberapa intim interaksi Kartini dengan Kiai Soleh Darat. Namun yang pasti, Kartini mengaku bertemu Kiai Soleh Darat pada 1903, dan pada tahun yang sama kiai tersebut meninggal dunia. Kartini sendiri meninggal dunia setahun kemudian, pada 1904. Fakta lain, meskipun sudah berinteraksi dengan Kiai Soleh Darat, namun tak ada dokumen yang menunjukkan bahwa Kartini mengoreksi pemahamannya selama ini tentang agama, Tuhan, dan kemanusiaan. Jika ada yang mengatakan Kartini sangat menolak Kristenisasi, maka penulis berpendapat, penolakan itu semata-mata karena cara yang digunakan misionaris tersebut, dan penolakan itu juga berdasarkan pemahaman Kartini bahwa agama apapun tak boleh mendominasi keyakinan seseorang, karena agama manapun pada hakekatnya sama, selama menebarkan kebajikan. Ini tercermin dalam suratnya kepada E.C Abendanon, 31 Januari 1903, “Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” Juga surat kepada misionaris Dr N Adriani, 5 Juli 1903 yang berbunyi, “Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa” . Pada surat-surat lainnya, Kartini mengatakan bahwa agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan kasih sayang. Keyakinan seperti ini sama persis dengan apa yang menjadi dasar keyakinan Theosofi, bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran atau kebajikan ( There’s No Religion Higher than Truth). Dan, sekali lagi, di akhir hayatnya tak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Kartini mengoreksi keyakinannya tersebut. Sebagai sesama Muslim, tentu kita berharap Kartini meninggal dalam keadaan sempurna keislamannya dan membuang jauh-jauh keyakinan yang menyimpang soal keagamaannya. Namun, karena ia merupakan sosok pahlawan nasional milik bangsa ini, maka sudah seharusnya masyarakat tahu secara lebih mendalam tentang siapa Kartini sesungguhnya, bagaimana pemikiran dan keyakinannya, dan lain-lain. Jika penulis menduga ada campur tangan kolonialis dalam upaya memunculkan sosok Kartini sebagai ikon kemajuan perempuan Indonesia, hal ini tak berlebihan, mengingat elit-elit Belanda lah yang pertama kali memunculkan sosok Kartini dan mendirikan lembaga Kartini Fond di Belanda pada 1911 yang bekerja memasarkan gagasan- gagasan Kartini. Upaya kolonialis untuk menonjolkan sosok Kartini juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa Politik Etis dan Politik Asosiasi yang dilakukan Belanda berhasil mendidik pribumi menjadi sosok yang terdidik, modern, dan berpikiran maju sesuai dengan cita-cita humanisme. Surat Kabar Nieuw van den Bag , pada 1914, memuat komentar pembaca yang mempertanyakan sikap elit-elit Belanda yang begitu getol memperkenalkan sosok Kartini. Surat tersebut menyatakan, ”Kalau Kartini berjuang buat bangsanya, mengapa kita (Belanda) yang mesti ribut-ribut memperkenalkannya kepada masyarakat? Mengapa mesti kita juga yang keluarkan duit buat biayai sekolah-sekolah Kartini? Biarlah mereka usahakan dan kerjakan sendiri!” Agama Kartini dalam Sorotan Seperti penulis paparkan pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Kartini dan Para Yahudi Belanda” , kebanyakan dari sahabat-sahabat Kartini adalah orang-orang Yahudi Belanda penganut paham sosialisme-humanisme. Interaksi Kartini yang berlangsung lewat surat menyurat dan kiriman-kiriman buku berlangsung secara intens. Diantara buku yang pernah dibaca Kartini dari sahabatnya adalah buku berjudul “Droomen van het Ghetto” (Impian dari Ghetto). Buku karya Zangwil ini berisi tentang keadaan sosial yang sangat buruk, yang dialami oleh orang-orang Yahudi di perkampungan- perkampungan Yahudi di Inggris. Kartini juga melahap habis buku-buku karya perempuan aktivis feminis-sosialis, seperti Goekoop de Jong, Cornelie Lydie Huygens, Marcel Prevost, Helena Mercier, dan lain-lain. Menurut keterangan, buku-buku inilah yang menjadi sumber inspirasi perjuangan emansipasi perempuan yang disuarakan Kartini. Sahabat Kartini, Stella Haarshalts Zeehandelaar, adalah perempuan Yahudi aktivis feminis-sosialis yang cukup radikal. Dalam biografi berjudul “Panggil Aku Kartini Saja” Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok Stella berikut ini: ”Estella Zeehandelaar adalah seorang gadis Yahudi Belanda dengan pandangan hidup sosialis yang berapi- api. Ia tidak menyetujui kalau Kartini masuk ke dalam dunia keagamaan. Stella mempengaruhi Kartini dalam pandangan hidup, bahwa kebajikan bukanlah barang monopoli kaum agama, karena orang pun –dan terutama sekali—dapat lakukan kebajikan karena perasaan tanggungjawab kepada sesama, karena nuraninya sendiri.” ( Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja , Lentera Dipantara, 2010, Cet.Kelima, hal. 212) Pramoedya alias Pram sendiri menilai Kartini sebagai sosok humanis, yang meyakini bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Bagi Kartini, kata Pram, semua agama sama. Pandangan ini adalah wujud dari daya sinkretik yang tertanam pada jiwa Kartini yang menilai manusia pada amalnya, pada sesamannya, pada kemanusiaan, bukan pada agamanya. Kartini, tegas Pram, adalah seorang humanis yang melihat segala sesuatu dari sisi kepentingan kemanusiaan.”Humanis memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya,” jelas Pram yang dikenal sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga underbouw Partai Komunis Indonesia. Penilaian Pram tentu bukan tanpa alasan. Paham humanisme begitu kental dalam surat Kartini kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902. Kartini menulis, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” Tulisan Kartini jelas mengacu pada keyakinan bahwa tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah “kodrat alam”. Sebuah keyakinan yang pada masa lalu begitu mengakar dan menjadi keyakinan dari organisasi-organisasi bercorak Jawanisme-Kebatinan, seperti Taman Siswa, Tri Koro Dharmo, dan Boedi Oetomo. Apa yang menjadi dasar keyakinan Kartini, sesungguhnya adalah landasan inti dari paham humanisme, yang tak lain merupakan doktrin tertinggi dari Theosofi dan Freemason. Pramoedya kembali menuturkan tentang sosok Kartini: “Ia adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat. Jadi ia termasuk golongan Javanis Jawa, atau golongan kebatinan, dimana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tak peduli apapun agama yang dianutnya, bahkan juga bagi si atheis sekalipun….ia (Kartini, red) dapat menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikkan atas agama apapun. (Hal: 260-261). Sebagai catatan, Tuhan yang disebut sebagai sumber hidup yang mengikat dalam keyakinan kebatinan Jawa, termasuk dalam pemahaman Theosofi adalah Tuhan yang menyatu, manunggal dengan sang hamba ( manunggaling kawula gusti ). Paham ini berkeyakinan, inti hidup seseorang adalah berbuat kebaikan, sebagai wujud dari implementasi sifat Ketuhanan yang menyatu ( imanen ) dengan sang makhluk. Mereka menyebutnya sebagai pancaran ilahi, pletik Tuhan, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “ god in being ”. Karena itu, aliran kebatinan-Theosofi berkeyakinan, agama apapun, selama menebarkan kebajikan, maka pada hakekatnya sama. Raden Mas Notosoeroto dalam “ De Gedachten van R. A Kartini als Richtsnoer voor de Indische Vereeniging” sebagaimana dikutip Pram dalam biografi Kartini, menulis: “Perasaan keagamaan Kartini nampak pada keteguhan imannya, dalam mana ia terdidik. Tetapi suatu keteguhan yang berbarengan dengan pengertian yang lembut, dimana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi kebajikan agama-agama lain. Penghargaan ini menyebabkan kalbunya tidak membeku dalam dogma- dogma kaku, tetapi menyebabkan ia menjadi lebih kaya dan membuat ia mengerti Quintessence atau inti setiap religi: Kebajikan dan cinta sesama. Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal garis-garis watak Kartini, yang menyebabkan ia menjadi permata toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang juga berasal dari orang-orang lain…” (hal.263) Mr. Conrad Theodore van Daventer, tokoh Politik Etis yang juga penggagas Kartini Fonds, menulis tentang apa sesungguhnya Tuhannya Kartini. Daventer menulis dalam Majalah De Gids, September 1911, berikut ini: “Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini, ya, dialah yang Tertinggi tanpa batas, yang menyebabkan orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi, bersaudara satu dengan yang lain, yang menyebabkan juga orang-orang Brahma, bahkan juga orang kafir dijiwai dan bahwa kebajikan dan cinta merupakan ketentuan-ketentuan yang terutama.Kepercayaan kepada Tuhan itulah yang terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi. Sebagai seorang yang terdiri secara Islam, ia (Kartini, red) ingin tetap menjadi Islam, sekalipun ia tidak buta terhadap beberapa kelemahan ajaran itu, karena bentuk kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah soal kedua, dan setiap bentuk itupun punya kelemahan sendiri…” (hal. 263-264). Van Daventer ingin menggambarkan bahwa yang terpenting adalah aspek Ketuhanan Yang Satu antara setiap agama, yang disebut dengan aspek batin ( esoteris ), sedankan soal ibadah lahir ( eksoteris ) hanyalah tradisi yang berbeda-beda antar setiap agama. Keyakinan ini juga sama persis dengan apa yang ditulis oleh Kartini dalam surat tertanggal 31 Januari 1903, yang berbunyi, “Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain…” Sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya berjudul “ Agama Kartini ” menyimpulkan bahwa tak penting apa agama Kartini, yang penting adalah gagasan dan ide dia tentang emansipasi. Pendapat ini tentu janggal, karena agama dan keyakinan seseorang jika benar-benar dihayati dan diamalkan sangat mempengaruhi pemikiran, perilaku, gagasan-gagasan, dan lain sebagainya. Karena itu, sangat penting mengungkap lebih dalam tentang agama dan keyakinan serta orang-orang yang berada di sekeliling Kartini, karena dari latarbelakang itulah gagasan-gagasannya muncul dan disebarluaskan. Josephine Hartseen, sahabat masa remaja Kartini, seperti keterangan yang ditulis oleh Pramoedya, adalah orang yang mengajarkan kepada Kartini ajaran-ajaran tentang Theosofi dan spiritisme. Joshepine, menurut keterangan Pram adalah anggota Theosofi. Sebagaimana juga keterangan Ridwan Saidi dalam Fakta dan Data Yahudi di Indonesia , yang menyebut Josephine sebagai orang Yahudi yang diplot untuk mendekati Kartini. Sementara H.H van Kol, elit kolonial yang dalam keterangannya disebut sebagai orang yang mengajarkan ilmu okultisme pada Kartini, adalah sosok yang mendapat rekomendasi dari Stella Zeehandelaar untuk mendekati Kartini. Jadi, tentu ada kaitan antara agama dan latarbelakang Kartini dengan gagasan-gagasanya selama ini, terutama tentang emansipasi. Namun sayang, gagasan- gagasannya soal agama, Tuhan, dan kemanusiaan, tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah. Seolah, tak penting apa agama dan keyakinannya, yang penting pemikirannya soal emansipasi. Rakyat Indonesia dipaksa mengidolakan seseorang tanpa perlu mengetahui bagaimana kepribadian dan latarbelakang orang tersebut. Tulisan ini membuka ruang bagi siapapun untuk menyanggah dan menghadirkan data-data dan fakta lain tentang sosok Kartinin. Tujuannya, agar sejarah tak lagi samar oleh kabut kekuasaan! Penulis bersedia rujuk, jika ada data dan fakta lain yang bisa dipertanggungjawabkan terkait keyakinan Kartini soal agama, Tuhan, dan kemanusiaan. Hal yang perlu dicatat, penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai sosok yang anti-Islam, namun penulis dengan tegas menyebut Kartini sebagai sosok yang pemikirannya berseberangan jauh dengan akidah Islam sebagaimana tercermin dalam surat-suratnya. Mengapa penulis menganggap penting untuk mengetahui apa sesungguhnya latarbelakang keyakinan Kartini? Karena Kartini adalah sosok yang dijadikan pahlawan dan pejuang perempuan negeri ini. Sosok yang dijadikan panutan, tentu harus benar-benar jelas tentang apa keyakinan dan latarbelakang kehidupannya. Adapun mengenai keterangan bahwa di akhir hayat Kartini kembali dalam pangkuan Islam yang sesungguhnya, penulis ingin meminta bukti, adakah di akhir hayatnya Kartini mengoreksi pemahamannya yang sangat kental dengan keyakinan kebatinan-Theosofi? Adakah keterangan yang menyebutkan bahwa Kartini tak lagi menganggap semua agama sama, Tuhan kita sama dengan tuhan agama lain, neraka dan surga tidak ada, agama yang sesungguhnya adalah kebajikan? Keyakinan inilah yang sungguh berseberangan jauh dengan akidah Islam! *Penulis buku Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara dan Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.