Selasa, 12 Maret 2013

Kumpulan Bahasa Arab Yang Sering Dipakai


kumpulan bahasa arab yang kerap dipakai 11 Juli 2011

Posted by jihadsabili in Uncategorized
trackback
Bismillah,
berikut ini adalah istilah-istilah singkat yang biasa digunakan oleh para penuntut ilmu syar’i :

Afwan = maaf.
Tafadhdhol = silahkan (untuk umum
Tafadhdholiy = silahkan (untuk perempuan)
Mumtaz : Hebat, Nilai sempurna, bagus banget
Na’am : iya
La adri = tidak tahu
Syukron : terima kasih Zadanallah ilman wa hirsha = smoga ALLAH manambah kita ilmu & semangat Yassarallah/sahhalallah lanal khaira haitsuma kunna = semoga ALLAH mudahkan kita dalam kebaikan dimanapun berada Allahummaghfir lana wal muslimin = ya ALLAH ampunilah kami & kaum muslimin
Laqod sodaqta = dengan sebenarnya
Ittaqillaah haitsumma kunta = Bertaqwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada
Allahul musta’an = hanya ALLAH-lah tempat kita minta tolong
Barakallah fikum = semoga ALLAH memberi kalian berkah
Wa iyyak = sama-sama
Wa anta kadzalik = begitu jg antum
Ayyul khidmah = ada yg bisa dibantu ?
Nas-alullaha asSalamah wal afiah = kita memohon kepada ALLAH keselamatan dan kebaikan
Jazakumullah khayran = semoga ALLAH memmbalas kalian dengan lebih baik
Jazaakallahu khayran = semoga ALLAH membalasmu (laki2) dengan lebih baik
Jazaakillahu khayran = semoga ALLAH memmbalasmu (perempuan) dengan lebih baik
Allahumma ajurny fi mushibaty wakhlufly khairan minha = ya ALLAH berilah pahala pada musibahku dan gantikanlah dg yg lebih baik darinya.
Rahimakumullah = smoga ALLAH merahmati kalian
Hafizhanallah = semoga ALLAH menjaga kita
Hadaanallah = semoga ALLAH memberikan kita petunjuk/hidayah.
Allahu yahdik = semoga Allah memberimu petunjuk/hidayah
‘ala rohatik = ‘ala kaifik = tereserah anda…
(biasanya digunakan dalam percakapan bebas, atau lebih halusnya silahkan dikondisikan saja..)
ana = y = saya
anta = ka = kamu laki2
anti = ki = kamu prempuan
(maksudnya ==> kalau untuk kepada kamu laki2= kaifa haluka ? ; Kalau kepada kamu perempuan : kaifa haluki?)
antum = kum = kalian laki2
antunna = kunn = kalian prempuan
huwa = hu = dia laki2
hiya = ha = dia prempuan ===
maa dza ta’malu ? = apa yg sedang kamu kerjakan ?
maa dza ta’maluna ? = apa yg sedang kalian kerjakan ?
qoro’tu fiil madi = aku telah membaca
ahfadhuhaa mahlan mahlan = saya akan menghafalnya pelan-pelan
ﺃَﺣْﻤَﺪ: ﻣِﻦْ ﺃَﻳْﻦَ ﺃَﻧْﺖَ ﻗَﺎﺩِﻡ ﻳَﺎ ﺃَﺧِﻲ؟
Min aina anta qaadim, ya akhii? / Dari mana Anda berasal, wahai Saudaraku?
ﻣُﺤَﻤَّﺪ: ﺃَﻧَﺎ ﻗَﺎﺩِﻡ ﻣِﻦْ ﺟَﺎﻭَﻯ ﺍﻟﺸَّﺮْﻗِﻴَّﺔ
Anaa qaadim min Jaawaa asy-syarqiyyah / Saya berasal dari Jawa Timur
ﺃَﺣْﻤَﺪ: ﻫَﻞْ ﺃَﻧْﺖَ ﻃَﺎﻟِﺐ؟
Hal anta thaalib? / Apakah Anda seorang mahasiswa?
ﻣُﺤَﻤَّﺪ: ﻻَ ﺃَﻧَﺎ ﻣُﻮَﻇَّﻒ
Laa, anaa muwadhdhaf / Tidak, saya seorang karyawan
ﺃَﺣْﻤَﺪ: ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﻜْﺘَﺒُﻚَ؟
Aina maktabuka? / Di mana kantormu?
ﻣُﺤَﻤَّﺪ: ﻣَﻜْﺘَﺒِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﻉ ﺳُﻮﺩِﺭْﻣَﺎﻥ
Maktabii fisy-syaari’ Sudirman / Kantorku di jalan Sudirman
ﺃَﺣْﻤَﺪ: ﺑِﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﺬْﻫَﺐ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘَﺐ؟
Bimaadzaa tadzhab ilal-maktab? / Dengan apa Anda pergi ke kantor
ﻣُﺤَﻤّﺪ: ﺃَﺫْﻫَﺐ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘَﺐ ﺑِﺎﻟﺴَّﻴَّﺎﺭَﺓ
Adzhab ilal-maktab bis-sayyaarah / Saya pergi ke kantor dengan mobil
Akalti : kamu sudah makan
ana ata’allamu = saya sedang belajar
nahnu nata’allamu = kami sedang belajar al idhofatu = sandaran
contoh :
———
kitaabun – Muhammad –> kitaabun Muhammadin = bukunya Muhammad –> nah, ini dalam bahasa arab disebut : mudhoofun ilaih (mabniun alal kasry) lagi.. baitun – mudarrisyun –> baitu mudarrisyin/baitul mudarrisyi = rumah guru
nah..
TIPS:
bagaimana kalau berdiskusi dgn para ahlul bid’ah dan mereka tetap bersikeras kepada kebid’ahannya ?
Cukup tutup dengan kalimat,
“mau’iduna yaumal jana’iz!” = nantikanlah sampai kematian menjemput anda
Setelah itu, tinggalkan tempat kejadian perkara
selesai
______________________________​_____________
Afwan, berhubung ada yang bertanya tentang arti kalimat2 umum dan sederhana dalam bahasa Arab yang sering di gunakan di group ini, maka semoga artikel sederhana (terjemahan bebas) ini bermanfaat.
- ana = saya
- anta = ka = kamu laki2
- anti = ki = kamu prempuan
- antum = kum = kalian laki2
- antunna = kunn = kalian prempuan
- huwa = hu = dia laki2
- hiya = ha = dia perempuan
- ya akhi = wahai saudaraku (laki2)
- ya ukhti = wahai saudaraku (perempuan)
- Akhi fillah = saudaraku seiman (kepada Allah)
- Jazaakallahu khayran = smoga ALLAH memmbalasmu dengan kebaikan.
- Jazakumullah khayiran = smoga ALLAH memmbalas kalian dengan kebaikan
- Allahu yahdik = Semoga Allah memberimu petunjuk
- Rahimahullah = Semoga Allah merahmatinya
- Rahimakumullah = smoga ALLAH mrahmati kalian
- Hafizhanallah = smoga ALLAH menjaga kita
- Hadaanallah = semoga ALLAH memberikan kita petunjuk.
- Afwan = maaf
- ISTAGHFARA-YASTAGHFIRU (استغفر) = meminta ampun.
- Zadanallah ilman wa hirshan = Semoga ALLAH manambah kita ilmu & smangat
- Yassarallah / sahhalallah lanal khaira haitsuma kunna = Semoga ALLAH mudahkan kita dalam kebaikan dimanapun berada
- Allahummaghfir lana wal muslimin = ya ALLAH ampunilah kami & kaum muslimin
- Allahul musta’an = hanya ALLAH lah tempat kita minta tolong
- Barakallahu fiik/kum = Semoga ALLAH memberi kalian berkah
- Wa iyyak/kum = sama2
- Wa anta kadzaalik = begitu jg antum
- Nas-alullaha assalamah wal aafiah = kita memohon kepada ALLAH keselamatan dan kebaikan
dipersilahkan bagi yg mau menambahkan / mengkoreksi,
& kalo ada yg mau menambahkan dgn huruf hijaiyah itu lebih baik
jazakumullah khayran
ana aidon = aku juga
thoyyib = baik lah..
laa bahsa = ga papa
mafi musykila = ga masalah
sway-sway = dikit-dikit
______________________________​___
kata ‘afwan dibeberapa ayat dengan beberapa makna yang saling berbeda. Antara lain:
Pertama, ( ولقد عفا الله عنهم) QS. Ali Imran : 155, maknanya maaf.
Kedua, (إلا أن يعفون أو يعفو الذي بيده عقدة النكاح) QS. Al-Baqarah : 237, maknanya meninggalkan.
Ketiga, (ثمّ بدّلنا مكان السيئة الحسنة حتى عفوا) QS. al-A’raf : 95, maknanya tambah banyak.
Keempat, (ويسألونك ما ذا ينفقون قل العفو) QS. al-Baqarah : 219, maknanya kelebihan dari harta.
Dari beberapa kata “afwan” yang ada dalam al-Quran tersebut, dapat kita tafsirkan makna dari kata “afwan”:
Menurut pengertian pertama, “maafkan saya atas kekurangan saya yang tidak mampu memberikan pelayanan lebih.”
Menurut pengertian kedua, “tinggalkan terimakasih tersebut, karena saya tak butuh terima kasih itu.”
Menurut pengertian ketiga, “diantara kita ada yang lebih banyak dari apa yang telah saya berikan.”
Menurut pengertian keempat, “apa yang telah saya berikan merupakan limpahan pemberian yang tidak berhak disyukuri.”
Wallahu a’lam.
penggunaan ‘afwan’ kalau dalam keseharian sama dengan ‘you welcome’ dlm bhs Inggris. juga sering digunakan sebagai permintaan maaf dalam mengusulkan sesuatu, atau kalau tidak dapat memenuhi sesuatu. (dikedua kesempatan ini kata ‘afwan’ digunakan commonly) Wallahu’aklam.. :)
Nah, ngomong2 soal “wa iyyaka” atau “wa iyyakum”, kayaknya ada artikel bagus nih, khusus membahas masalah ucapan “wa iyyaka” atau “wa iyyakum”
———
Banyak orang yang sering mengucapkan “waiyyak (dan kepadamu juga)” atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido’akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan “jazakallah khair atau barakalahu fiikum”?
Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:
Asy Syaikh Muhammad ‘Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: Beberapa orang sering mengatakan “Amiin, waiyyaak” (yang artinya “Amiin, dan kepadamu juga”) setelah seseorang mengucapkan “Jazakallahu khairan” (yang berarti “semoga ALLAH membalas kebaikanmu”). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?
Beliau menjawab:
Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan “Jazakalahu khairan,” tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan “wa iyyaakum.”
Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan “wa iyyaakum,” setelah doa apapun, dan tidak berkata “Jazakallahu khairan,” mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama).
Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta’ala ditanya: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?
Beliau menjawab:
“tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido’akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”
Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi ditanya: Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?
Beliau menjawab:
Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.
Menjawab dengan “Wafiika barakallah”.
Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do’a “Barakallahu fiikum atau Barakallahu fiika” kepada kita, maka kita menjawabnya: “Wafiika barakallah” (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu) (lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)
Menjawab dengan “jazakallahu khair”.
Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan “jazakallahu khairan”, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” (HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)
Ada beberapa ketentuan dalam mengucapkan jazakallah:
- jazakallahu khairan (engkau, lelaki)
- jazakillahu khairan (engkau, perempuan)
- jazakumullahu khairan (kamu sekalian)
- jazahumullahu khairan (mereka)
Fatwa ulama seputar ucapan “jazakallah”:
Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:
Sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan “jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan “sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?
Beliau menjawab:
Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do’a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido’akan dengan do’a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini. Namun jika seseorang menyebutkan do’a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do’a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa. Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.
Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:
Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?
Beliau -hafidzahullah- menjawab:
“Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.” (transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222)
Kesimpulan:
Ucapan “Waiyyak” secara harfiah artinya “dan kepadamu juga”. Ini adalah bentuk do’a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo’a dengan selain ucapan “Jazakumullah khairan” dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan “jazakalla khair”, inilah sunnahnya.
Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid’ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.
Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, “Ilmu itu sebelum berkata dan beramal”. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).
Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.
Muraja’:
- sunniforum.com/forum/showthrea​d.php?t=3105
- darussalaf.or.id/stories.php?i​d=1520
- Hisnul Muslim, Syaikh Said bin Ali Al Qathani
Bagaimana Ucapan yang sempurna dalam menjawab Jazakallohu khoiron..?
Oleh : Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah
Ucapan Ini Merupakan Amal Sholeh dan Amal Sholeh pun Akan Mengucapkannya
Ucapan ini bagi yang mengucapkannya adalah ibadah. Karena ucapan ini adalah sebuah doa dan doa itu adalah ibadah.
Adapun bagi yang menerimanya, ucapan ini adalah sebuah kalimat yang sangat baik.
Membuat wajah ingin tersenyum dan membahagiakan hati…
Ucapan ini lebih manis daripada “Syukron”…
Dan lebih bermanfaat daripada “terima kasih”…
Dan sangat tepat diucapkan oleh seseorang yang ingin menyampaikan kepada temannya bahwa ia tidak mampu membalas kebaikannya.
Ucapan yang dimaksud adalah:
“JAZAKALLOHU KHOIRON” [semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan_umum/laki laki].
atau “JAZAKILLAHU KHOIRON” [jika yang diberi ucapan adalah wanita].
Ucapan ini adalah amalan sholih karena ucapan ini merupakan sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid, ia berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا؛ فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاء
“Barang siapa yang diberi suatu kebaikan kepadanya, lalu ia mengucapkan kepada orang yang memberi kebaikan tersebut: “Jazakallohu khoiron”, maka sesungguhnya hal itu sudah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” [HR. at-Tirmidzi no. 1958, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubro 6/53, dll. Dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani rohimahullohu ta’ala dalam Shohih at-Targhib wat Tarhib (969).
Dalam Faidhul Qodir (172/6) dijelaskan:
“telah mencukupi rasa syukurnya” maksudnya adalah hal tersebut karena pengakuan terhadap kekurangannya, dan ketidakmampuan dalam membalas kebaikannya, dan mempercayakan membalas kebaikannya pada Alloh agar ia mendapatkan balasan yang sempurna.
Berkata al-allamah al-Utsaimin rohimahulloh dalam Syarah Riyadhus Sholihin :
“Hal itu dikarenakan jika Alloh membalas kebaikannya dengan kebaikan, hal itu merupakan kebahagian baginya di dunia dan akhirat.”
CARA MENJAWABNYA
Dan yang utama dalam menjawab kalimat yang bagus ini adalah dengan mengulang kalimat tersebut yakni membalasnya dengan mengatakan :
“WA ANTA FAJAZAKALLOHU KHOIRON” atau yang semisalnya.
Walaupun membalasnya dengan ucapan “WA IYYAKUM” dan yang semisalnya adalah boleh-boleh saja, namun yang lebih afdhol adalah membalas dengan mengulang lafadz doa tersebut.
Sebagaimana DIFATWAKAN oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafidzohulloh:
السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟
Pertanyaan :
...
Apakah ada dalil bahwa membalasnya (ucapan jazakallohu khoiron) adalah dengan ucapan “wa iyyakum”?
فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول :( وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى
(مفرغ من شريط دروس شرح سنن الترمذي ,كتاب البر والصلة ,رقم:222)
Beliau menjawab :
“Tidak, sepantasnya dia juga mengatakan “wa jazakallohu khoiron” (dan semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan), yaitu didoakan sebagaimana dia mendoakan, dan seandainya ia mengucapkan semisal “wa iyyakum” sebagai athof (mengikuti) atas ucapan “Jazakum”, yakni ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, semoga kalian juga”.
Akan tetapi jika ia membalasnya dengan ucapan “antum jazakumulloh khoiron” dan mengucapkan dengan lafadz do’a tersebut, tidak diragukan lagi bahwa ini lebih jelas dan lebih utama.” [*] –selesai nukilan fatwa Syaikh Abdul Muhsin hafidzohulloh -
[*] Di transkrip dari kaset Durus Syarh Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Birr wash Shilah no. 222, oleh ustadz Abu Karimah hafidzohulloh. Sumber:http://ibnulqoyyim.com/content​/view/36/9/, dengan perubahan dalam terjemahannya.
Dan dalil apa yang difatwakan Syaikh Abdul Muhsin di atas adalah sebagaimana dalam hadits berikut :
Dari Anas bin Malik rodhiyallohu anhu ia berkata:
Usaid bin al-Hudhoir an-Naqib al-Asyhali datang kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, maka ia bercerita kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tentang sebuah keluarga dari Bani Zhofar yang kebanyakannya adalah wanita, maka Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam membagi kepada mereka sesuatu, membaginya di antara mereka, lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berkata :
تركتَنا -يا أسيد!- حتى ذهب ما في أيدينا، فإذا سمعتَ بطعام قد أتاني؛ فأتني فاذكر لي أهل ذلك البيت، أو اذكر لي ذاك. فمكث ما شاء الله، ثم أتى رسولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طعامٌ مِن خيبر: شعيرٌ وتمرٌ، فقسَم النبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الناس، قال: ثم قسم في الأنصار فأجزل، قال: ثم قسم في أهل ذلك البيت فأجزل، فقال له أسيد شاكرًا له: جزاكَ اللهُ -أيْ رسولَ الله!- أطيبَ الجزاء -أو: خيرًا؛ يشك عاصم- قال : فقال له النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وأنتم معشرَ الأنصار! فجزاكم الله خيرًا- أو: أطيب الجزاء-، فإنكم – ما علمتُ- أَعِفَّةٌ صُبُرٌ
“Engkau meninggalkan kami wahai Usaid, sampai habis apa-apa yang ada pada kami, jika engkau mendengar makanan mendatangiku, maka datangilah aku dan ingatkan padaku tentang keluarga itu atau ingatkan padaku hal itu.”
Maka setelah beberapa saat, datang kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam makanan dari khoibar berupa gandum dan kurma, maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam membaginya kepada manusia.
Ia berkata:
kemudian beliau membaginya kepada kaum Anshor lalu makanan itupun menjadi banyak, lalu ia berkata: kemudian beliau membaginya kepada keluarga tersebut lalu makanan itupun menjadi banyak.
Lalu Usaid pun mengucapkan rasa syukurnya kepada Nabi:
“Jazakallohu athyabal jaza’ –atau khoiron- (Semoga Alloh membalasmu -yaitu kepada Rosululloh- dengan sebaik-baik balasan –atau kebaikan), Ashim (perawi hadits, pent) ragu-ragu dalam lafadznya,
lalu ia berkata : Nabi shollallohu alaihi wa sallam kemudian membalasnya :
“wa antum ma’syarol Anshor, fa jazakumullohu khoiron –atau athyabal jaza’- (dan Kalian wahai sekalian kaum Anshor, semoga Alloh membalas kalian dengan kebaikan –atau sebaik-baik balasan), sesungguhnya setahuku kalian adalah orang-orang yang sangat menjaga kehormatan lagi penyabar”
[HR. an-Nasa’i no. 8345, ath-Thobroni dalam Mu’jam al-Kabir no. 567, Ibnu Hibban no. 7400 & 7402, Abu Ya’la al-Mushili dalam Musnadnya no. 908, dll. Dishohihkan syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 3096]
Begitu pula terdapat contoh atsar para salaf yang mengamalkan ucapan ini.
Imam Bukhori rohimahulloh meriwayatkan dalam al-Adabul mufrod dengan sanadnya dari Abu Murroh, maula Ummu Hani’ putri Abu Tholib:
:أنه ركِبَ مع أبي هُريرة إلى أرضِه بالعقيق، فإذا دَخَلَ أرْضَهُ صَاح بأعلى صوتِه : عليكِ السَّلامُ ورحمةُ اللهِ وبركاتُه يا أُمتاه! تقول
وعليكَ السَّلامُ ورحمةُ اللهِ وبركاتُه، يقول: رحمكِ اللهُ؛ ربَّيْتِني صغيرًا
فتقول: يا بُنيّ! وأنتَ فجزاكَ اللهُ خيرًا، ورضي عنك؛ كما بَرَرْتَني كبيرًا
Bahwasanya ia berkendara bersama Abu Huroiroh ke kampung halamannya di ‘Aqiiq.
Ketika ia sampai di rumahnya ia berkata dengan mengeraskan suaranya: “Alaikissalam warohmatullohi wabarokatuh wahai ibuku.”
Lalu ibunya berkata :” wa’alaikassalam warohmatullohi wabarokatuh.”
Ia berkata (bersyukur kepada ibunya, pent) : “Rohimakillah (semoga Alloh merahmatimu wahai ibu), engkau telah merawatku ketika aku masih kecil.”
Maka ibunya berkata : “Wahai anakku wa anta fajazakallohu khoiron, semoga Alloh meridhoimu sebagaimana engkau berbuat baik kepadaku saat engkau sudah besar.”
[HR. al-Bukhori dalam al-Adabul Mufrod no. 15, syaikh al-Albani rohimahulloh berkata: “sanadnya hasan” dalam shohih al-Adabul Mufrod no. 11]
Dalam Thobaqot al-Hanabilah diriwayatkan:
أنبأنا المبارك عن أبي إسحاق البرمكي حدثنا محمد بن إسماعيل الوراق حدثنا علي بن محمد قال: حدثني أحمد بن محمد بن مهران حدثنا أحمد بن عصمة النيسابوري حدثنا سلمة بن شبيب قال: عزمت على النقلة إلى مكة فبعت داري فلما فرغتها وسلمتها وقفت على بابها فقلت: يا أهل الدار جاورناكم فأحسنتم جوارنا جزاكم الله خيراً وقد بعنا الدار ونحن على النقلة إلى مكة وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته قال: فأجابني من الدار مجيب فقال: وأنتم فجزاكم الله خيرا ما رأينا منكم إلا خيرا ونحن على النقلة أيضاً فإن الذي اشترى منكم الدار رافضي يشتم أبا بكر وعمر والصحابة رضي الله عنهم.
Dari Salamah bin Syabib[**], ia berkata :
aku ingin pindah ke Mekkah, lalu akupun menjual rumahku. Ketika urusannya selesai aku pamit kepada tetanggaku dan mengucapkan salam sambil berdiri di depan pintu rumahnya, aku berkata: “Wahai tetanggaku, kami telah hidup bertetangga dengan kalian dan kalianpun telah berbuat baik dalam bertetangga dengan kami, jazakumulloh khoiron, aku telah menjual rumah kami dan kami akan pindah ke Mekkah, wa’alaikumussalam warohmatulloh wa barokatuh.”
Lalu seseorang dari rumah itu menjawab:
“wa antum fajazakumulloh khoiron, tidaklah kami melihat pada kalian melainkan kebaikan, tapi kami mau pindah juga karena ternyata yang membeli rumah kalian adalah seorang Rofidhoh (syi’ah) yang mencela Abu Bakr, Umar dan pada shahabat rodhiyallohu anhum.”
[Thobaqot al-Hanabilah 1/65, Maktabah Syamilah]
[**] Salamah bin Syabib (W. 246 H) adalah seorang ulama salaf perowi hadits yang sezaman dengan imam Ahmad bin Hambal, adz-Dzahabi berkata tentang Salamah bin Syabib: “al-Hafidz, Hujjah”.
DAN AMAL SHOLEH PUN MENGUCAPKANNYA
Hal ini terjadi di alam kubur, sebagaimana dalam sebuah hadits yang panjang yang diriwayatkan al-Barro’ bin Azib rodhiyallohu anhu, bahwa setelah seorang hamba yang beriman diuji (dengan pertanyaan dalam kubur, pent) dan ditetapkan dalam menjawab ujian:
يَأْتِيهِ آتٍ حَسَنُ الْوَجْهِ طَيِّبُ الرِّيحِ حَسَنُ الثِّيَابِ، فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِكَرَامَةٍ مِنَ اللهِ وَنَعِيمٍ مُقِيمٍ؛
فَيَقُولُ: وَأَنْتَ؛ فَبَشَّرَكَ اللهُ بِخَيْرٍ، مَنْ أَنْتَ؟
فَيَقُولُ: ”أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ، كُنْتَ –وَاللهِ!- سَرِيعًا فِي طَاعَةِ اللهِ، بَطِيئًا عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا.
:ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِنَ الْجَنَّةِ وَبَابٌ مِنَ النَّارِ فَيُقَالُ
…هَذَا كَانَ مَنْزِلَكَ لَوْ عَصَيْتَ اللهَ، أَبْدَلَكَ اللهُ بِهِ هَذَا
Datanglah seseorang dengan wajah yang baik, berbau wangi dan memakai baju yang bagus, lalu orang tersebut berkata: “Bergembiralah dengan kemuliaan dari Alloh dan kenikmatan yang abadi”, maka hamba yang beriman tersebut bertanya: “Wa anta fa basyarokallohu bi khoirin (dan semoga Alloh juga memberimu kabar gembira berupa kebaikan), siapakah anda?” lalu orang itu menjawab : “aku adalah amal sholehmu, engkau dahulu –demi Alloh- sangat cepat dalam ta’at kepada Alloh sangat lambat (menjauhi, pent) dalam maksiat kepada Alloh, fa jazakallohu khoiron”.
Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu dikatakan: “Ini (neraka) adalah tempatmu seandainya engkau bermaksiat kepada Alloh, dan Alloh telah menggantikan untukmu dengan yang ini (surga)…”
[HR. Ahmad no. 17872, Abdurrozzaq dalam Mushonnaf-nya no. 6736,dll. Dishohihkan syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal.158]
Maka beruntunglah seorang hamba yang diberi taufik dalam kehidupan dunianya terhadap ucapan yang baik ini, baik ia mengucapkannya maupun ia menerimanya. Dan di akhiratnya ia mendapat kabar gembira dengan ucapan ini oleh amal sholehnya. Seandainya bukan karena keutamaan dan rahmat Alloh maka ia tidak mampu beramal sholeh.
Subhanalloh…
Alloh Yang Maha Memberi Nikmat, memberikan nikmat berupa taufik kepada hamba-Nya untuk beramal sholeh, kemudian memberi nikmat lagi berupa menjadikan amal sholehnya memuji hamba tersebut…
Subhanalloh…
hadits yang mulia ini juga mengingatkan kita untuk cepat dalam ta’at kepada Alloh dan menjauhi maksiat…
Semoga Alloh ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk mampu mengamalkan sifat yang mulia ini…
Maroji’ :
# Artikel “Hiya Amalun Sholih wa yaquluha al-Amal ash-Sholih” yang ditulis oleh salah seorang putri syaikh al-Albani, yaitu Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin al-Albaniyyah hafidzohalloh dalam blog beliau [tamammennah.blogspot.com], dan tulisan ini banyak mengambil faidah dari sana –fa jazahallohu khoiron-.
# Transkrip Fatwa Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad oleh ustadz Abu Karimah Askari hafidzohulloh di http://ibnulqoyyim.com/content​/view/36/9/
# Al-Maktabah asy-Syamilah v3, dan penomoran hadits & atsar merujuk kepada software ini.
Sumber :
Jika ada yang mengucapkan “Ana uhibbuka fillah”, maka jawabnya adalah “ahabbakal ladzii ahbabtanii lahu” (Semoga Allah mencintai kamu yang cinta kepadaku karenaNya) [HASAN. HR.Abu Daud 4/333, Syaikh Albani menghasankannya dalam Shahih Sunan Abu Daud 3/965].

Jumat, 01 Maret 2013

Cak Nur


Fiqih Lintas Agama Cak Nur

Rizal – Selasa, 23 Safar 1428 H / 13 Maret 2007 11:27 WIB
Assalamualaikum wr. Wb.
Pak ustad yang saya hormati, membaca buku yang telah diluncurkan oleh Nurcholis Majid(alm)dkk, dengan judul Fiqih Lintas Agama, maka terfikir dibenak saya ada kejanggalan, sebab kalau dilihat dari judulnya ada kata Lintas, sedangkan lintas itu sendiri adalah melewati atau jalan.
Jadi timbul pertanyaan saya apakah semua agama selain Islam punya atau ada yang menjalankan fikih seperti isalam, kalau pun ada di mana letak persamaan dan perbedaannya, memang buku ini sudah terbit sejak 2thn silam tetapi saya masih penasaran untuk mendapatkan jawaban yang valid dari ustad.
Secara pribadi saya sangat menghargai pendapat beliau, sebagai orang awam perlu mencari sumber yang jelas tidak asal taqlid begitu saja.
Mohon penjelasannya pak ustad.
Terimakasih.
Wassalam.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ketika Nurchalis Madjid menulis buku itu dan memberi judul ‘Fiqih Lintas Agama’, perlu kita pahami bahwa istilah fiqih yang dia maksud sama sekali berbeda dengan istilah fiqih yang baku dalam literatur syariah Islam.
Dalam literatur syariah Islam, definisi kata fiqih secara bahasa berarti paham dan mengerti. Seperti dalam ayat Al-Quran Allah menceritakan ucapan kaum Syuaib
“Mereka berkata, "Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu (Hud: 91)
Namun secara istilah baku yang dikenal para ulama, makna istilah ‘fiqih’ adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العلمية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci.
Penjelasan definisi:
  • Ilmu: merupakan ilmu yang memiliki obyek dan kaidah tertentu.
  • Hukum-hukum syariat: hukum-hukum ini bersifat syariat yang diambil dari Al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas, bukan ilmu logika, matematika, fisika.
  • Amaliyah: fiqih hanya membahas hukum-hukum praktis (amaly) perbuatan manusia dari masalah ibadah, muamalah. Jadi fiqih tidak membahas masalah keyakinan atau ilmu kalam atau ilmu akidah.
  • Yang diambil: fiqih adalah kesimpulan hukum-hukum bersifat baku hasil ijtihad ulama yang bersumber dari Al-Quran, sunnah, ijma, qiyas dan dalil-dalil yang ada.
Sedangkan yang dibicarakanCak Nur dalam bukunya itu justru keluar jauh dari makna asli dan baku tentang ilmu fiqih. Mungkin trik dagang, atau karena istilah fiqih sedang ngetop, jadi menarik didengar. Namun yang jelas tidak nyambung. Atau mungkin penulisnya menggunakan pengertian secara bahasa, yaitu sebagai pemahaman secara umum.
Adakah Agama Selain Islam Punya Ilmu Fiqih?
Kalau pertanyaan anda, apakah agama selain Islam punya ilmu fiqih seperti umat Islam, jawabnyajelas tidak. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang punya ilmu fiqih seperti ilmu fiqih yang dimiliki umat Islam.
Kita mulai dari agama ardhi (bumi), yaitu agama-agama ciptaan manusia biasa, bukan agama yang turun dari tuhan. Misalnya agama Hindu, Budha, Shinto, Konghuchu dan sebagainya. Agama-agama ini tidak punya ilmu fiqih seperti umat Islam, karena tidak ada sumber-sumber asasi yang mereka sepakati, terutama terkait dengan masalah amaliyah.
Agama-agama ini tidak punya kitab suci yang datang dari Tuhan, sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kitab yang mereka sucikan sebagai kitab buatan manusia, paling jauh, karangan para filsof. Apakah filosof berhak membuat aturan ritual dan tata cara ibadah? Jawabnya tidak berhak, menurut aqidah Islam. Sebab yang berhak untuk menetapkan aturan peribadatan bukan manusia, melainkan Allah SWT.
Agama ardhi juga tidak punya konsep nabi yang menerima wahyu dari langit dan berfungsi sebagai pembawa risalah dari tuhan. Di mana perkataan, perbuatan dan taqrir-nya adalah sumber hukum. Dan selain dari Al-Quran, umat Islam mengambil hukum dari nabinya, Muhammad SAW.
Yang menarik, di dalam agama Islam berkembang sebuah ilmu periwayatan sanad hadits. Di mana tiap keterangan tentang hukum-hukum dari Rasulullah SAW mengalami proses naqd (kritik) secara uniq dan luar biasa. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang punya ilmu naqd hadits.
Adapun agama samawi, yaitu agama yang sebenarnya bersumber dari Allah SWT, seperti nasrani dan ahudi, juga tidak punya ilmu fiqih. Namun mereka punya hukum dan syariah ketika mereka masih bersama nabi mereka.
Di zaman nabi mereka masih hidup, Allah SWT menurunkan wahyu kepada para nabi itu. Sehingga boleh dibilang bahwa umat pemeluk agama samawi punya syariah. Misalnya mereka diwajibkan shalat, puasa, zakat, haji, jihad. Bahkan diberlakukan banyak larangan di antara mereka, seperti diharamkan untuk mencuri, berzina, membunuh, melukai, berjudi, makan babi dan makanan haram lainnya.
Dalam beberapa hal, hukum yang berlaku pada umat ahli kitab sebelum kita itu, punya beberapa kesamaan. Misalnya, pembunuh wajib diqishash, pencuri wajib dipotong tangannya, pezina wajib dirajam dan lainnya.
Hanya masalahnya, ketika para nabi itu wafat, hukum yang tadinya berlaku berangsur ditinggalkan. Ditambah lagi tidak ada jaminan atas penjagaan kitab suci mereka dari ancaman pemalsuan, penambahan atau mengurangan. Lama-lama kitab suci mereka betul-betul hilang lenyap, sehingga sudah tidak ada lagi yang tahu rimbanya.
Apalagi kalau bicara hadits nabi-nabi terdahulu, semakin gelap saja. Kitab suci saja mereka palsukan, apalagi hadits nabi mereka.
Karena itulah kita katakan bahwa bagaimana mereka mau punya fiqih seperti kita, padahal kitab suci pun tidak punya, hadits apalagi. Padahal yang namanya fiqih adalah ilmu untuk mengambil istimbath hukum dari kedua sumber hukum itu.
Ibarat kita bertanya kepada teman bujangan, "Mas, punya anak apa enggak?" Jawabnya sudah jelas tidak punya. Lha bagaimana mau punya anak, isteri saja tidak punya? Apakah mau punya anak dari pohon pisang? Tentu tidak.
Maka wajar kalau saudara kita yang nasrani atau yahudi itu sekarang menjadi pelanggar berat agama dan syariah mereka sendiri. Hari ini mereka asyik makan babi, minum khamar, berzina, berjudi, menyembah berhala, makan bangkai, tinggalkan shalat, tidak puasa, tidak zakat, tidak haji dan tidak cebok sehabis kencing. Semua itu terjadi karena mereka tidak punya ilmu fiqih, oleh karena mereka tidak punya sumber-sumber fiqih seperti kita. Kitab suci yang asli tidak punya, hadits apalagi.
Bahkan jumlah tuhan pun masih jadi polemik di kalangan petinggi mereka. Apakah tiga atau satu? Ataukah tiga sama dengan satu? Ataukah satu itu tiga? Semua semakin membingungkan. Bagaimana mau bisa punya ilmu fiqih?
Maka alangkah ruginya umat Islam yang tidak sempat belajar ilmu fqih, karena ilmu ini satu-satunya di muka bumi.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc